Perjuangan Raja-Raja Muna Yang Tidak Boleh Dilupakan | ADDY SUMOHARJO BLOG

Perjuangan Raja-Raja Muna Yang Tidak Boleh Dilupakan

Pada tulisan kali ini saya akan menyampaikan bentuk perjuangan raja-raja Muna dalam membesarkan kerajaan Muna hal ini bertujuan untuk menjadi pembelajaran pada generasi penerus masyarakat Muna agar mereka mengenal sejarah kejayaan nenek moyang mereka maupun nenek moyang saya sendiri serta bagaimana perjuangan mereka dalam membesarkan Kerajaan Muna dan kegigihan mereka dalam mengusir penjajah belanda dari Kerajaan Muna.

Harus saya akui, bahwa informasi tentang sejarah Kerajaan Muna bahkan tokoh-tokoh dan konteks sosialnya tidak ada yang ditulis. Informasi dan sejarah Kerajaan Muna lampau terpelihara hanya dalam kisah tradisi lisan hingga generasi hari ini. Rangkaian informasi sejarah itu tampak hanya “milik” tokoh-tokoh adat, agama yang seolah sudah final dan tidak bisa lagi kita cermati terlebih dikritisi demi untuk mengenal sejarah dan kebudayaan Muna. Akibatnya, sejarah cenderung menjadi “Mitos”. Yah karena hanya berdasar pada kisah dan pengakuan sepihak, tak bisa dikonfrontir. Pamali katanya.

Saya menulis artikel ini juga bertujuan untuk menumbuhkan rasa bangga sebagai generasi Muna karena ternyata raja-raja Muna masa lalu telah menggoreskan tinta emas dalam catatan sejarah, baik itu sejarah ditingkat Lokal Sulawesi tenggara maupun ditingkat nasional. Raja-Raja Muna dan segenap masyarakatnya masa lalu juga tidak pernah tunduk dengan imperialisme dan liberalisme pemerintahan Belanda.

Berikut Ini Daftar Raja-Raja Muna Dan Periode Kekuasaannya dari raja dengan nama berawalan LA hingga LA/WA + ODE
  1. La Eli alias Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula,alias Remang Rilangiq (Menjadi Raja Luwuk Purba sebagai Soloweta Raja = Raja Pengganti di Kerajaan Luwuk Purba Menggantikan Sawerigading (1371 – 1395).
  2. La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola ( 1395 – 1420).
  3. La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1420 – 1455)
  4. La Patani gelar Sugi Patani ( 1455 – 1470)
  5. Sugi La Ende (1470-1501)
  6. Sugi Manuru gelar Omputo Mepasokino Adhati (1501-1517)
  7. Lakilaponto Alias Murhum di Buton atau La Tolalaka di Kendari (1517 -1520), Menjadi Sultan Buton I dengan nama Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (1520-1564)
  8. La Posasu gelar Kobangkuduno ( 1520-1551).
  9. Rampeisomba gelar Karawawono ( 1551-1600).
  10. Titakono ( 1600- 1625 )
  11. La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
  12. La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)
  13. Wa Ode Wakelu ( 1667-1668).
  14. La Ode Muh. Idris. (Soloweta Raja 1668-1671).
  15. La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho ( 1671-1716 )
  16. La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1758, 1764-1767)
  17. La Ode Pontimasa Kapitalao Wolowa di Buton(Soloweta Raja)( 40 hari )
  18. La Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758-1764 )
  19. La Ode Umara gelar Omputo Nigege
  20. La Ode Mursali gelar Sangia Gola
  21. La Ode Tumowu Kapitalao Lakologou di Buton (Soloweta Raja)
  22. La Ode Ngkumabusi (Soloweta Raja)
  23. La Ode Sumaeli gelar Omputo Nisombo
  24. La Ode Saete gelar Omputo Sorano Masigi ( 1816-1830 )
  25. La Ode Malei (Soloweta Raja)
  26. La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861 )
  27. La Ode Ali gelar Sangia Rahia ( Soloweta Raja 1861-1864 )
  28. La Aka Alias Yaro Kapala (Bhonto Balano / Perdana Mentri Merangkap Raja Wuna 1864-1866)
  29. La Ode Ngkaili ( 1866-1906)
  30. La Ode Ahmad Maktubu gelar Omputo Milano we Kaleleha (1906 – 1914)
  31. La Ode Pulu (1914-1919)
  32. La Ode Safiu gelar Oputa Motembana Karoona / Oputa Moilana Yi Waara ( 1919-1922), Sultan Buton ke 36 (1922-1924)
  33. La Ode Rere gelar Omputo Aro Wuna (1926-1928 )
  34. La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ). 1938-1947 terjadi Kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna
  35. La Ode Pandu gelar Omputo Milano te Kosundano ( 1947-1956)
  36. La Ode Sirad Imbo (Pelaksana Sementara) (2012-Sekarang)

Berikut Perjuangan Raja-Raja Muna Yang Wajib Kita Ketahui :

1. Raja Muna I – La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, (1371 – 1395)
Bheteno ne Tombula alias La Eli alias Baidhul Jamani adalah Raja Muna I. Bheteno ne Tombula dipercaya sebagai orang pertama yang memulai beradabaan baru dalam sistem sosial kemasyarakatan di Muna. Hal ini dikarenakan pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula Muna menjadi sebuah kerajaan dengan struktur pemerintahan dan struktur sosial yang lebih moderen. Sebagai seorang raja Sugi manuru juga melakukan penataan dalam sistem administrasi pemerintahan, walapun pada waktu itu masyarakat Muna termasuk raja belum mengenal tulisan. 

Bheteno Ne tombula bukanlah orang Muna, beliau ditemukan dalam rumpun bambu oleh sekelompok orang yang ditugaskan untuk mencari bambu pada saat diadakan pesta besar di Wamelai.

A. Bheteno Ne Tombula Versi Tradisi Lisan Masyarakat Muna
Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari, Mieno (Pemimpin Wilayah) Wamelai akan mengadakan pesta raya, seluruh masyarakat Muna di delapan wilayah dikumpulkan untuk turut membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut.

Sekelompok orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang mengisahkan bahwa manusia tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.

Karena penemuan tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian dibawah menghadap pada mieno Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai dan pemimpin wilayah lainnya lelaki itu mengaku bernama LA ELI alias BAILDHUL JAMAANI Putra Raja Luwu di Sulawesi selatan. Dituturkan dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI alias BAILDHUL JAMAANI di Muna untuk menunggu istrinya yang saat ini sedang hamil dan akan datang menemui dirinya. Tempat pertemuan yang mereka sepakati untuk pertemuan itu adalah Pulau Muna (Wuna). 

Selang beberapa hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut, tersiar kabar bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Laguna Napabale ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku bernama WA TANDI ABE. berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah, dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar ditempat itu. Tujuan kedatangannya adalah untuk bertemu dengan suaminya yang telah menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya terdampar.

Kabar tentang terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut tersebar luas begitu cepat dikalangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu sampai juga ditelinga MIENO WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau memerintahkan agar wanita tersebut di dibawa menghadap dirinya guna dipertemukan dengan LA ELI alias BAIDHULJAMANI untuk di konfrontir.

Ternyata setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang saling mencari. Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang ada dihadapannya saat ini.

Karena peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat menyepakati untuk ‘memingit’ keduanya dalam sebuah kelambu selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah untuk mencegah hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang yang aneh tersebut dan mengaku sebagai Suami istri. 

Setelah tujuh hari dalam ‘pingitan’, ternyat tidak ada kejadian yang luar biasa sehingga keduanya di keluarkan dari pingitan kemudian di nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku dikalangan masyarakat Muna.

Peristiwa pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna. Peristiwa ini juga menjadi tradisi yang harus dilalui seorang wanita yang telah memasuki usia baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini.

Perkawinan antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA TANDIABE melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO FOTU. RUNTU WULAE dan KILAMBIBITO. KAGHUA BHANGKANO FOTU kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar SUGI PATOLA. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. RUNTU WULAE kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana sedangkan KILAMBIBITO kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno) Putera dari MINO WAMELAI. 

Dalam sebuah rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau Badhuljamani adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi di Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/Baidhuljamani mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah Raja Pertama dengan Gelar Bheteno Ne Tombula (yang Muncul di Bambu) sedangkan istrinya (permaisur ) bergelar Sangke palangga (yang menumpang pada talam). Sejak saat itulah Muna menjadi sebuah kerajaan.

B. Menata Sistem Pemerintahan
Tugas pertama Bheteno ne Tombula Setelah di nobatkan menjadi Raja Muna I adalah melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat di Kerajaan Muna. Sistem pemerintahan yang dibangun pada awal masa pemerintahan Bheteno Netombula tersebut merupakan penyempurnaan dari sistem pemerintahan terdahulu (yang masih bersifat kelompok-kelompok komunitas dan berdiri sendiri-sendiri. Lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan prasyarat sebuah negara pun dibentuk dan kelompok-kolompok komunitas yang tadinya berdiri sendiri diikat dalam sebuah lembaga besar yang bernama kerajaan Muna. 

Strukur pemerintahan yang dibentuk oleh Bheteno Ne Tombula sebagai penanda berdirinya sebuah kerajan adalah:
1. Raja, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Kino Wuna. Raja memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sangat luas dan besar yang melingkupi seluruh wilayah kerajaan. Titah raja merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat.

2. Kepala Pemerintahan Wilayah dengan gelar Mieno (pemimpin) dan Komokula (Yang dituakan) Kepala pemerintaha wilayah berkuasa dan memiliki kewenangan dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada Raja sebagai pemimpin tertinggi. Wilayah administrsi pemerintahan wilayah berdasarkan pembagian wilayah terdahulu sebelum terbentuknya kerajaan Muna. Pemerintahan wilayah tersebut berjumlah 8 wilayah masing-masing 4 wilayah dipimpin oleh “ Mieno “ dan 4 wilayah dipimpin oleh “ Kamokula “. Kedelapan wilayah tersebut adalah :

Pemerintahan wilayah tersebut kemudian dikenal dengan “ Wawono Liwu “ (Negeri terdahulu) adalah :

Empat yang dimpin Mieno
  1. Mieno Kaura
  2. Mieno Kansitala
  3. Mieno Lembo
  4. Mieno Ndoke. Dan
Empat yang dipimpin Kamokula :
  1. Kamokulano Tongkuno
  2. Kamokulano Barangaka
  3. Kamokulano Lindo
  4. Kamokulano Wapepi
3. Papara (Rakyat) atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana (yang dianggap anak).

2. Raja Sugi Manuru (1501-1517) .
SUGI MANURU adalah Raja Muna VI terkenal bijaksana dan memiliki wawasan luas dan sangat ahli dalam ilmu ketatanegaraan. Dikalangan masyarakat Muna SUGI MANURU diberi gelar sebagai 'omputo mepasokino Adhati’ artinya Raja yang menetapkan Hukum, adat, nilai-nilai dan falsafa dasar berbangsa dan bernegara. Gelar tersebut diberikan sebab pada masa pemerintahan SUGI MANURU lah dirumuskan dan ditetapkan tatanan, nilai-nilai dasar dan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan Muna.

Tatanan kehidupan bermasyarakat yang dirumuskan dan ditetapkan pada masa pemerintahan Sugi Manuru. Nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut dikaitkan dengan relevansi wilayah dalam hubungannya dengan manusia, alam dan Tuhan.

Penetapan hubungan wilayah dengan manusia tersebut dipengaruhi oleh ajaran dan nilai-nilai islam. Itu artinya walaupun Sugi manuru belum memeluk islam, namun nilai-nilai islam telah berpengaruh di kalangan istana kerajaan Muna.

Masuknya pegaruh islam di Kerajaan Muna dalam sistem ketatanegaraan dikerajaan Muna pada masa pemerintahan Sugi manuru setelah masuknya penyebar islam I di Muna yaitu Syekh Abdul Wahid. Menurut beberapa catatan, Syekh Abdul Wahid adalah seorang misionaris islam yang berasal dari Arab. Namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau adalah pedagang dari Gujarad.

Islam mulai diajarkan secara luas oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna pada masa-masa akhir pemerintahan Sugi manuru. Salah satu murid pertama Syekh Abdul Wahid adalah La Kilaponto, Putera Raja Sugi Manuru yang kemudian menjadi Raja Muna VII dan akhirnya menjadi Raja Buton VI.

Setelah Menjadi Raja Buton, La Kilaponto kemudian memboyong gurunya tersebut di kerajaan Buton. Hal inilah yang menyebabkan proses islamisasi di kerajaan muna menjadi terhenti. Hal yang berbeda terjadi di Kerajaan Buton. Seiring dengan peningkatan intensitas pengajaran islam di kalangan masyarakat buton, maka proses islamisasi di Kerajaan tersebut berjalan sangat pesat. Bahkan dalam waktu tiga tahun agama Islam resmi menjadi agama kerajaan.

Bukti diterimanya agama islam sebagai agama kerajaan adalah berubahnya bentuk Kerajaan menjadi kesultanan dan Sultan pertamanya adalah La Kilaponto. Setelah resmi menjadi Sultan, Lakilaponto Kemudian Bergelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.

Sebagai mana halnya dengan pemerintahan tradisonal lainnya, di kerajaan Muna juga menganggap seorang raja sebagai poros kekuasaan dan sumber keteladanan. Jadi apapun yang dilakukan, diyakini atapun yang dititahkan raja maka semua warga kerajaan wajib mengikuti tanpa terlebih dahulu menannyakan apalagi menilai baik-buruknya. Jadi karena Islamisasi fase pertama ini belum mampu mengislamkan raja serta masih kuatnya keyakinan Orang Muna dengan kepercayan leluhurnya yaitu animisme dan dinamisme maka misi Misionaris Islam pertama yakni Syeh Abdul Wahid di Muna dapat dikatakan mengalami kegagalan, walau tidak sepenuhnya sebab Raja Muna saat itu Sugi Manuru telah banyak memiliki pehaman terhadap nilai-nilai islam.

Sebagai mana yang dijelaskan terdahulu, Walaupun pada masa Pemerintaha SUGI MANURU Islam baru diperkenalkan oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna serta SUGI MANURU sendiri belum memeluk islam, namun sepertinya SUGI MANURU telah memiliki pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai Islam.

Pemahaman Sugi manuru terhadap nilai-nilai islam dapat dilihat saat membagi Kerajaan dalam empat wilayah besar yang disebut dengan Ghoera yaitu Ghoerano Tongkuno, Ghoerano Lawa, Ghoerano Katobu, Dan Ghoerano Kabawo.

Pembagian wilayah Kerajaan Muna menjadi empat Ghoera tersebut oleh Sugi manuru di ibaratkan sebagai ;
  1. Ghoerano Tongkuno di ibaratkan asal api hurufnya alif.
  2. Ghoerano Lawa di ibaratkan asal angin hurufnya ha.
  3. Ghoerano Kabawo di ibaratakan asal air huruf nya mim.
  4. Ghoerano Katobu di ibaratkan asal tanah huruf nya dal.
Pengibaratan tersebut bertitik tolak pada hakikat penciptaan manusia yang memiliki sifat-sifat api, angin, air dan tanah. Keempat sifat tersebut kemudian diuraikan sebagai berikut ; 
  1. Sifat api; adalah menggambarkan manusia yang memiliki emosi. Sebagaimana Api, emosi ini kalau dikelola dengan baik akan memberi manfaat bagi banyak orang, tapi kalau tidak terkontrol maka akan menyebabkan kehancuran yang besar.
  2. Sifat angin adalah menggambarkan manusia yang memiliki ambisi. Ambisi yang dimiliki setiap manusia itu bagaikan senjata. Kalau ambisi berada pada orang yang baik maka ambisi itu akan diarahkan pada hal-hal yang positif dan menjadi motifasi untuk mencapai kesuksesan dengan cara-cara yang benar. Tapi kalau berada pada orang yang tidak baik maka akan diarahkan pada ha-hal yang negative bahkan kadang menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang di cita-citakaan.
  3. Sifat air menggambarkan sifat manusia yang tenang selalu memberikan kesegaran dan kesejukan serta menghilangkan dahaga. Namun demikian kalau pengelolaan dan penggunaanya dilakukan dengan cara yang tidak baik dan tidak benar, maka akan menjadi petaka. Air juga memiliki sifat selalu mengalir ditempat yang lebih rendah, maksudnya manusia harus memiliki sifat rendah hati, tidak sombong walau memiliki kekuatan yang besar. Hal yang paling pokok adalah sifat air yang selalu mengikuti bentuk wadahnya, ini artinya manusia harus dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi dimana dia berada.
  4. Sifat Tanah diibaratkan sebagai sifat manusia yang sabar dan tidak menuntut imbalan atas segalah sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari sifat tanah yang selalu sabar walalupun telah menumbuhkan tanaman sebagai sumber kehidupan manusia, walaupun telah menyediakan tempat untuk berpijak manusia tapi dia tidak pernah menuntut imbalan. Bahkan ketika diinjak dan diberaki tanah tidak pernah marah.
Selain itu empat huruf yang digunakan sebagai pengandaian empat wilayah dalam Kerajaan Muna tersebut kalau dirangkai suatu kalimat ” Ahmad” Ahmad ini dalam sejarah islam dan dalam Al-Qur’an disebut sebagai nama lain dari Muhammad SAW, nabi dan rasul junjungan umat islam.

Begitu bijaksananya, sehingga dalam melakukan pembagian wilayah pun SUGI MANURU melakukan pengandaian dengan hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang dikandung oleh nilai-nilai islam.

Disebutkan pula bahwa SUGI MANURU yang menetapkan pembagian golongan di Kerajaan Muna. Adapun golongan itu adalah Kaoumu, Walaka, Olindo Fitu Bangkaono, dan Wawono Liwu. Yang secara hakikat dapat pula dikatakan bahwa susunan golongan-golongan itu di ibaratkan sebagaai struktur raga manusia yaitu :
  1. O kaomu, di ibaratkan kepala manusia huruf nya mim awal.
  2. O walaka di ibaratkan badan manusia huruf nya Ha.
  3. O lindo Fitu bengkauno di ibaratkan perut hurufnya mim akhir.
  4. Owawono Liwu di ibaratkan kaki hurupnya Dal.
Inilah yang dikatakan pengendali dan yang dikendali. Kaomu dan Walaka adalah mitra kerja yang mengendali, Olindo Fitu Bangkauno serta Wawono Liwu adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam, bakal yang akan di atur.

Nilai-nilai yang diajarkan SUGI MANURU Inilah yang dikatakan sebagai rahasia wawasan negeri dalam pengertian SOWITE (untuk tanah air). SOWITE ini kemudian diuraikan agar mudah dalam implementasinya sebagai landasan idiologi yang dikenal dengan falsafah hidup masyarakat Muna, yaitu “ Koemo Bhada Sumanomo Liwu, Koemo Liwu Sumanomo Sara, Koemo Sara Semanomo Oadhati, Koemo Oadhati Sumanomo Agama”, artinya ; Rela mengorbankan Jiwa dan raga demi bangsa dan negara, Tegakkan Hukum walaupun bumi runtuh, kalaupun hukum tidak berjalan, adat istiadat tetap harus dipertahankan, Kalaupun adat istidat sudah tidak memberi arah, nilai-nilai, agama yang akan dijadikan pegangan.

Penetapan empat landasan idiologi sebagai falsafah hidup Masyarakat Muna tersebut sangat jelas dipengaruhi oleh ajaran Islam. Hal ini ditandai dengan penghargaan agama sebagai ajaran yang harus dipegang dan menjadi petunjuk apabila ajaran-ajaran lainnya tidak berjalan dengan baik.

J. Couvreur (1935;5) mengatakan bahwa Sugimanuru mempunyai empat belas orang putra terdiri atas sebelas orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Keempat belas orang dimaksud adalah (1) Kakodo, (2) Manguntara, (3) La Kakolo, (4) La Pana, (5) Tendridatu, (6) Kalipatolo, (7) Wa Sidakari, (8) La Kilaponto, (9) La Posasu, (10) Rampeisomba, (11) Kiraimaguna, (12) Patolakamba, (13) Wa Golu, (14) Wa Ode ogo.

3. Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera (1517 -1520). 
La kilaponto Raja Muna VII ( 1538- 1541 M ) adalah putera Raja Muna VI Sugi Manuru, dari isterinya Wa Tubapala anak dari Wa Randea puteri Mokole Konawe (Mahmud Hamundu-Makala pada Simosium Pernaskahan Nusantara X, 2003). La Kilaponto memiliki 13 orang saudara (J.Courveur 1935;5), namun dari satu ibu dia hanya memiliki dua saudara yaitu La Posasu/Kobangkuduno dan Wa Karamaguna/Wa Ode Pogo. 

La Kilaponto memilki nama kecil La Kila, kemudian oleh masyarakat Muna di tambahkan dengan Ponto (Sejenis bambu yang keras) sehingga menjadi dikenal namanya La Kilaponto. Pemberian nama itu karena sesuai dengan sikap dan pembawaanya sebagi pemuda yang cerdas, tampan, kuat dan keras sikapnya (Said D, 2007 ; 143 ). La Ode Rifai Pedansa, seorang tokoh masyarakat Muna berpendapat lain mengenai penambahan ‘ponto’ pada nama La Kilaponto. Menurutnya penambahan kata ‘ponto’ karena sebeum menjadi Raja Muna, La Kilaponto ditugaskan memimpin wilayah yang bernama ‘Ponto” yaitu wilayah yang saat ini dikenal dengan Gu, La kudo dan Mawasangka sebagai Raja Muda (Wawancara; Mei 2011).

Ada beberapa versi yang mengisahkan tentang 3 tahun La kilaponto menjadi Raja di Kerajaan Muna. La Kimi Batoa dalam Bukunya Sejarah Kerajaan Daerah Muna, mengatakan bahwa La Kilaponto menjadi Raja Muna selama 3 tahun yaitu antara tahun 1517-1520 (La Kimi Batoa, 1995). Masa ini bersamaan dengan saat dia menjadi raja di Kerajaan Buton sebelum kerajan itu menjadi Kesultanan (1541) dan La Kilaponto dinobatkan sebagai Sultan Pertama dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.

Sedangkan Said D mengatakan bahwa La kilaponto menjadi raja di Kearajaan Muna pada tahun 1530-1538 (Said D, 2007;144). Perkiraan tahun berkuasanya La Kilaponto sebagai mana yang di katakan oleh Said D tersebut, boleh jadi merupakan masa ketika dia menjadi Raja Muda di wilayah ‘Ponto’ sebgai mana dikatakan La Ode rifai Pendansa. Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian H.E. Tamburaka yang dimuat dalam buku ‘ Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara’ bahwa La Kilaponto atau Haluoleo menjadi Raja Muna Sementara pada tahun 1530 – 1538.

A. Manusia Fenomenal Yang Kharismatik
La Kilaponto adalah manusia yang fenomenal yang kharismatik, ahli dalam strategi perang, piawai dalam berdiplomasi serta pakar dalam ilmu ketatanegaraan. Hal itu dapat dilihat dimana dia pernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu bersamaan, sebagai mana dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda “Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” (Koleksi Belanda, hal 1). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelar ‘ mepokonduaghono Ghoera’ artinya orang yang menggabungkan Negeri/Kampung.

LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan-kerajaan itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat setelah beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar sehingga dapat saja melakukan hal itu.

Dari semua kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun (1538–1584 M). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun (1538-1541 M), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.

B. Pakar Tata Negara
Sejak Kecil Raja Sugi Manuru telah melihat potensi yang dimiliki oleh LA KILAPONTO. Olehnya dia diberi pendidikan khusus termasuk mempelajari islam yang dibawah oleh Syek Abdul Wahid pada awal pemerintahan Sugi Manuru (1527). Namun menurut J. Courveur La Kilaponto telah menerima islam sejak tahun 1519 M atau 940 H.

Kepakaran di bidang ketatanegaraan. Hal ini dapat dilihat ketika menjadi Raja/Sultan Buton, La Kilaponto meletakan sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan/kesultanan tersebut. Sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditanamkan La Kilaponto di Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan nilai-nilai dasar yang diajarkan oleh ayahandanya Sugi manuru Raja Muna VI SUGI MANURU yaitu ;
  1. Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
  2. Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
  3. Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
  4. Poadha-adhati. (Saling menghormati )
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
  1. Hansuru –hansuru badha Sumano kono hansuru liwu ( Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
  2. Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
  3. Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan.

Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai-nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Karena jasanya tersebut, La Kilaponto dianugrahi gelar Timba-timbanga oleh rakyat Buton

Konsitusi pada Kerajaan/kesultanan Buton yang ditanmkan oleh La Kilaponto mulai ditulis pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597- 1631 M). Sebagai penganut islam yang taat Dayanu Ikhsanuddin juga memasukan nilai-nilai Islam dalam konstitusi tersebut. Konstitusi Kesultanan Buton yang ditulis oleh Dayanu Iksanuddin tersebut dikenal dengan Martabat Tujuh.

Karena Martabat Tujuh memuat tetntang tatanan dasar kenegaraan Kesultanan Buton, oleh para pakar martabat tujuh kemudian menganggapnya sebagai Konstitusi Kesultanan Buton. Konstotusi yang bernama martabat tujuh tersebut diproklamirkan pada masa Kesultanan Buton masih di bawah pimpinan SULTAN DAYANU IKHSANUDDIN. DAYANU IKHSANUDDINadalah cucu LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang bersuamikan LA SIRIDATU putera Raja Batauga. 

C. Diplomat Ulung
Selain ahli di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang diplomasi. Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta. Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar “HALUOLEO” yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Mokole Konawe. Silahkan baca kisah raja muna yang dikenal dengan sebutan Haluoleo.

Kemampuan diplomatik LA KILAPONTO juga ditunjukan saat ditugaskan oleh ayahandanya Raja Sugi Manuru untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO itu sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Bahkan Kerajaan Ternate berhasil diyakinkan untuk bersekutu melawan pengaruh Kolonial Belanda. Bukti lain keberhasilan misi diplomatik La Kilaponto tersebut adalah sejak saat itu sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.

Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :

  1. WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V LA MULAE)
  2. WA ANAWAY ANGGUHAIRAH ( Putri Mokole Konawe )
  3. Putri raja Jampea
  4. Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
  5. WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
  1. Perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
  2. Perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAH memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
  3. Perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPAMASI (Sangia Boleko). La Tumparasi kemudin menjadi Sultan Buton II menggantikan ayahandanya dengan gelar Sultan Qaimuddin II.
  4. Perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna). La Sagaji kemudian menjadi Sultan III mengantikan kakaknya lain ibu La Tumpamasi dengan gelar Sultan Qaimuddin III
  5. Perkawinannya dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wa sugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V La Mulae), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGOraja Kambe-kambero). Sultan Buton IV Dayanu Iksanuddin adalah cucu La Kilaponto dari putrinya Paramasuni buah perkawinannya dengan La Siridatu Putra Raja Batauga.
D. Ahli Strategi Perang
Kemampuan dalam strategi perang La kilaponto dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO yang terkenal sakti dan sangat kejam dalam melakukan aksinya sehingga Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Untuk kisah selngkapnya silahkan baca disini.

Pada sebuah hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe, kerajaan-kerajaan lainya yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Kabaena, dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KILAPONTO, sebagai mana kutipan berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).

Tiga Tahun LAKILAPOTO menjadi raja Buton dan empat kerajaan lainya di Sulawesi Tenggara, ajaran islam berkembang pesat di Kerajaan Buton. Pesatnya perkembangan agama islam di kerajaan tersebut karena pada saat dilantik menjadi raja Buton, guru agama beliau seorang Ulama dari Arab yang bernama SYEKH ABDUL WAHID turut di boyong ke Kerajaan Buton untuk menyebarkan agama islam di sana.

Setelah nilai-nilai islam telah tertanam dalam perilaku masyarakat botun, maka pada tahun 1541 La Kilaponto memproklamirkan Kerajaan menjadi Kesultanan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan I dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.

Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948H/1541M), LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna. Pada Kerajaan Muna, LAKILAPONTO menyerahkan jabatannya kepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya.

Namun yang pasti pada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut sebagai Negara merdeka dan berdaulat.

Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII, kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton bagian Utara yaitu Wakorumba dan Kulisusu diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar.

Hubungan persaudaraan di antara kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO khususnya Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun Setelah Kesultanan Buton mulai bekerja sama dengan Kolonial Belanda pada akhir masa pemerintahan Sultan Buton Dayanu Ikhsanuddin dan dalam kerangka politik pecah belah, Menjadikan hubungan antara Kerajaan Muna dan Buton mengalami keratakan. bersama Sultan Buton LAODE MUH. ASIKIN, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 (Jules Couvreur, Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna-Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).

Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring ditunjukan oleh raja Muna LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa Kolonial Belanda di makkasar menyatakan kerajaan Muna sepenuhya dalam penawasan Belanda sampai pemerintah Kolonial Belanda menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna pada tahun 1947.

LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun (sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun), dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun (1538- 1541 M),. Setelah LA KILAPONTO/SULTAN MURHUMIN/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPAMASI (Sangi Boleka) Putra La Kilaponto dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.

4. Raja Muna X – Titakono ( 1600- 1625 )
La Titakono adalah Raja Muna X sekaligus sebagai raja terakhir yang belum memeluk agama islam. Kendati demikian pada masa pemerintahan La Titakono penyebar Islam kedua yakni Firus Muhammad masuk di Muna. Pada fase kedua masuknya penyebar agama islam di muna juga belum berjalan secara efisien. Agama islam pada masa itu berkembang sangat lamban. Hal ini berkaitan dengan Raja Muna belum memeluk agama islam. Sebagai seorang pemimpin yang menjadi panutan seluruh warga, maka masuknya seorang raja pada suatu aliran atau agama tertentu sangat berperan terhadap penyebarluasan kepercayaan atau agama tersebut.Hal ini juga terjadi di Kerajaan Muna.

Walaupun Raja Muna La Titakono belum memeluk islam. namun beliau sangat toleran terhadap pemeluk islam yang saat itu masih sangat minoritas serta menghargai nilai-nilai islam. Sebagai bukti penghormatan beliau pada islam yaitu pada masa pemerintahannya masjid pertama dibangun di Muna (1614). Pembangunan masjid itu diikuti oleh pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Seluruh proses pembangunan masjid dan islamic center tersebut difasilitasi oleh Raja La Titakono.

Bukti lain sikap toleransi raja La Titakono terhadap islam adalahd iberikan kebebasan pada salah seorang putranya yaitu La Ode Sa’aduddin menjadi murid Firus Muhammad Penyebar islam kedua di Muna. Bahkan La Ode Sa’aduddin menjadi Raja Mua pertama yang memeluk agama Islam.

Agama Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat setelah Putra La Titakono yakni La Ode Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI setelah La Titakono Mangkat. Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano.

Bonto Bhalano adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna Pada masa Pemerintahan Raja Muna IX TITAKONO struktur golongan masyarakat Muna juga ditambah dengan golongan wesimbali.

Golongan Wesimbali adalah goloangan yang timbul karena perkawinan antara dua golongan yang sebenarnya dilarang dalam hukum adat. Pada zaman dahulu wanita Kaomu dan Walaka pantang menikah dengan golongan Lakono sau poino kontu. Golongan Wesimbali ini terbagi lagi menjadi dua yaitu ;
  1. Golongan Kaomu Wesimbali, yaitu turunan dari wanita kaumu dengan laki-laki wawono liwu. Derajat dari Kaomu Wasembali dijadikan setara dengan Golongan Walaka, tetapi tidak boleh menduduki jabatan seperti golongan Walaka.
  2. Golongan Walaka Wesimbali, yaitu keturunan dari wanita golongan walaka dengan laki-laki dari golongan Wawono Liwu. Walaka Wasembali di sejajarkan dengan derajatnya Anangkolaki (fitu bengkauno) tetapi jug tidak dapat mendudukuki jabatan seperi golongan Angkolaki.
Raja Muna Titakono juga mengadakan perubahan pada struktur pemerintahan. Dalam Rapat Agung Kerajaan di hadiri oleh Raja, 4 Mino, 4 kamokula diangkat Pejabat Bantobalono. Banto Balano yang pertama adalah La Marati, anak dari Wa Ode Pogo hasil perkawinanya dengan La Pokainse. Sebagai Bonto Balano.

5. Raja La Ode Sa’adudin (1625-1626)
La Ode Sa’aduddin adalah Raja Muna XI dan merupakan pertama yang memeluk islam sekaligus raja Muna pertama yang memakai penambahan La Ode pada awal namannya.

Penambahan La Ode (bagi laki-laki) dan Wa ode (bagi perempuan) pada awal nama seorang yang berdarah Kaomu (strata sosial yang berhak menduduki jabatan Raja ) ditetapkan oleh La Titakono Raja Muna X bersama La Marati (cucu Sugi Manuru dari anaknya Wa Ode Pogo buah pernikahannya dengan La Pokainse). Jadi Berbanggalah Orang Muna Yang Namanya Berawalan LA dan WA

Pemerintahan La Ode Saa’diddin sangat singkat yaitu hanya satu tahun. Walaupun demikian selama satu tahun masa pemerintahan, La Ode Saa’duddin berhasil melakukan hal besar taitu melakukan penataan dalam strktur pemerintahan dan menyebarluaskan ajaran islam dalam kalangan masyarakat Kerajaan Muna.

Setelah La Ode Saaduddin naik tahta dia melakukan reformasi pemerintahan di kerajaan muna. untuk mendukung pmerintahannya la Ode Sa’aaduddin membentuk dua jabatan baru dalam sistem pemerintahan Kerajaan Muna yaitu kapitalao dan Kapita. Kapitalao diberi tugas menjaga keamanan pantai Kerajaan muna dari serangan musuh termasuk bajak laut yang kembali marak disekitar perairan kerajaan muna. Karena Kerajaan muna dikeliligi oleh lautan dengan wilayah yang begitu luas maka diangkat dua orang Kapita Lao yaitu Kapitalao Matagholeo Timur) dan Kapita Lao Kansoopa (Barat).

Walaupun Muna bukanlah kerajaan Islam, namun sejak masa pemerintahan La Ode Saadudin hukum islam berlaku dikerajaan Muna misalnya hukuman gantung bagi yang melanggar norma adat dan hukuman cambuk bagi yang melanggar norma susilah. Pelaksanaan hukuman islam terebut berlaku pada seluruh warga kerajaan dalam hal ini termasuk Raja. Sebagai bukti penerapan hukum islam tersebut dapat dilihat ketika mitarano bhitara (kuasa yudikatif menjatuhkan hukuman gantung pada La Ode Umara Raja Muna Ke 20 karena dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap norma adat).

Hukuman cambuk sampai mati seperti yang diajarkan dalam hukum Islam juga pernah dijatuhkan pada La Ode Sumaili Raja Muna ke 23 Yang dianggap telah melakukan pelanggaran norma susilah ketika menentang perkawinan Wa Ode Kadingke Dengan seorang saudagar dari bugis yang bernama Daeng Marewa. Penentangan terhadap perkawinan tersebut mendapat perlawanan dari Wa Ode Kadingke sehingga terjadi perang saudara.

Setelah Wa Ode Kadingke memenangkan pertempuran kemudian mengangkat Puteranya La Ode Saete menjadi Raja. Sedangkan La Ode Sumaili dijatuhi hukuman cambuk Sampai mati.

Pada masa pemerintahan La Ode Saa’duddin pula Belanda mulai mencoba menacapkan kekuasaan di Kerajaan Muna. Gelagat tidak baik belanda tersebut telah dibaca oleh Raja La Ode Saa’duddin, sehingga begitu Belanda mencoba mengintervensi pemerintahan, Raja La Ode Saa’duddin tidak menerimanya dan menyatakan perang terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang telah lama menjalin kerja sama dengan Kesultanan Buton.

6.Raja La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea (1626-1667)

Raja Muna XII adalah La Ode Ngkadiri. Beliau adalah anak dari La Ode Saa’duddin raja Muna XI. La Ode Ngkadiri memeritah dikerajan selama 21 tahun, dibagi dalam dua periode dan disela dengan pemerintaha permaisurinya Wa Ode Wakelu selama tiga tahun.

Periode pemerintahan La Ode Ngkadiri ditandai dengan inseden penangkapan dirinya oleh Kolonial Belanda dalam sebuah buah kapal yang bernama MV. De flamig pada tahun 1652 dan diasinkan ke ternate selama tiga tahun. Kapal itu cukup mega sebab diatasnya dilengapi dengan taman yang cukup luas. Karena penangkapan diatas kapal tersebut sehingga setelah beliau mangkat sarano wuna menganugrahkan gelar Sangia Kaindea pada beliau.

Peristiwa penangkapan diatas kapal MV. De Flaming tersebut terjadi karena Pemeritah Belanda telah kewalahan mengahadapi Raja La de Ngkadiri dan pasukan yang terus mengobarkan semangat perang terhadap Belanda. Beberapa kali Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Kerajaan Muna namun selalu mengalami Kegagalan padahal dalam ekspedisi itu pasukan Belanda di bantu oleh Tentara Kesultaan Buton yang menjadi sekutu abadinya.

Sikap perlawanan Raja La Ode Ngkadiri terhadap Kolonial Belanda ditunjukan sejak awal kedatangan Belanda pertama kali yang dipimpin oleh Piether Both di Kesultanan Buton pada tahun 1631. Ketika Rombongan Pieter Both tersebut akan masuk ke Kerajaan Muna mereka mendapat penolakan dari Raja La Ode Ngkadiri.

Penolakan Raja La Ode Ngkadiri terhadap Piether Both tersebut membuat pemerintah Kolonial Belanda berang, namun untuk melawan sendiri pasukan Kerajaan Muna, Belanda mengalami kesulitan. Olehnya itu dijalankanlah Politik kotor Belanda untuk memecah bela antara dua kerajaan (Kerajaan Muna dan Buton) yang telah lama menjalin hunbungan yang sangat erat yang dikenal dengan politik Devide Et Impera.

Maka dicari-carilah benih-benih perpecahan antara dua kerajaan bersaudara tersebut. Kebetulan sebelum menjadi Raja Muna La Ode Ngkadiri pernah gagal menikahi Wa Ode Sopo Puteri Sapati Baaluwu yang dipelihara oleh Spelma, padahal keduanya telah dijodohkan. La Ode Ngkadiri lebih memilih Wa Ode Wakelu puteri Sapati Kapolangku untuk dijadikan isteri (Drs. La Oba, 2005;43).

Kegagalan pernikahan antara Raja La Ode Ngkadiri dengan Wa Ode Sopo anak angkat Spelman dijadika alasan bagi Belanda untuk mengadu domba Kesultanan Buton agar mau memerangi Keraajaan Muna yang telah menjalin persaudaraan sejak ribuan tahun yang lalu. Upaya adu domba Belanda tersebut berhasil, sebab Buton mau bersekutu dengan Belanda untuk menyerang Kerajaan Muna. sehingga terjadi perang yang cukup lama (1631-1652 ) antara Kerajaan Muna dengan Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Buton.

Kendatipun Pasukan Belanda telah dibantu oleh Pasukan Kesultanan Buton namun mereka belum juga mampu mengalahkan Pasukan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Ngkadiri. Olehnya itu Belanda menggunakan strategi lain yaitu dengan mengajak untuk melakukan perundingan. Padahal maksud dari perundingan tersebut adalah guna menangkap Raja La Ode Ngkadiri

Untuk memuluskan rencananya itu Belanda mengajak Sultan Ternate (Sultan Mandayasa) kerabat dekat lainnya Kerajaan Muna ikut dalam perundingan tersebut. Setelah semuanya telah diatur dengan rapi, maka disepakati tempat perundingan diatas sebuah kapal MV. De Flaming dan lokasi yang dipilih adalah ditengah lautan di selat Buton tepatnya di depan Lohia. 

Pada saat perundingan tersebutlah kemudian La Ode Ngkadiri dinyatakan ditangkap Oleh Belanda dan diasingkan ke Ternate selama tiga tahun. Bersamaan dengan penangkapan itu Belanda kemudian mengangkat La Ode Muh. Idrus sebagai Wali Raja di Kerajaan Muna dan dilantik diatas kapal itu juga.

Selain terjadi pergolakan melwan Kolonial Belanda, pada masa pemerintahan La Ode Ngkadiri juga masuk misionaris Islam gelombang Ketiga yaitu Syarif Muhammad (1643). Syarif Muhammad melanjutkan misi penyebar islam terdahulu yaitu mengajarkan ajaran islam pada masyarakat Muna.

7.Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris Gelar Sorano Kaindea. (1668-1671).
La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XIV. La Ode Muh. Idrus dilantik menjadi raja Muna oleh Pemerintah Kolonial Belanda diatas kapal yang sama dimana Raja Muna XIII La Ode Ngkadiri di gulingkan. Olehnya itu oleh masyarakat Muna dia digelar dengan Sorano kaindea yang kira-kira diartikan sebagai orang yang berkoalisi dengan Kolonial.

Walaupun La Ode Muh. Idris telah dilantik oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Raja Muna, namun masyarakat Muna dan Sarano Wuna tidak mengakuinnya. Olehnya itu,Wa Ode Wakelu memproklamirkan dirinya sebagai raja Muna menggantikan Suaminya la Ode Ngkadiri. Sikap Wa Ode Wakelu dalam mengambil alih kekuasaan tersebut mendapat dukungan dari Sarano Wuna dan segenap Masyarakat Muna.

Kuatnya dukungan terhadap Wa Ode Wakelu tersebut membuat Pemerintah Konolonil Belanda dan Kesultanaan Buton tidak dapat membendungnnya sehingga selama tiga tahun masa pemerintahan La Ode Muh. Idris di Kerajaan Muna terjadi dualisme kepemimpinan yaitu La Ode Muh. Idris sebagai Utusan kolonial belanda dan Kesultanan Buton SERTA Wa Ode Wakelu yang mendapat legitimasi dari Sarano Wuna dan Rakyat Muna. Bahkan pada tahun 1671 Sarano Wuna berhasil mengembalikan La Ode Ngkadiri sebagai raja Muna.

8. Raja Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja -La Ode Ngkadiri )- ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu adalah permaisuri Raja muna XII La Ode Ngkadiri. Wa Ode Wakelu dilantik menjadi Raja Muna oleh Sarano Wuna karena terjadi kekosongan kekuasaan sebagai akibat dari diasingkannya suaminya yang saat itu sedang menjadi raja Muna La Ode Ngkadiri. Pelantikan Wa Ode Wa Kelu sebagai raja Muna selain mengisi kekosongan kekuasaan juga sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa kolonial belanda karena bersamaan dengan di gulingkannya La Ode Ngkadiri diatas sebuah kapal, turut dilantik pula La Ode Muhammad Idris sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Ngkadiri. yang telah dengan sewenang-wenang menjatuhkan Raja Muna yang sedang berkuasa. 

Perjuangan Wa Ode Wakelu yang didukung oleh sarano wuna dan segenap masyarakat Kerajaan Muna berhasil mengembalikan tahta Kerajaan muna pada yang berhak. hal itu terjadi setelah tiga tahun menjadi raja Muna. Pemerintah kolonial Belanda yang didukung oleh Kesultanan Buton tidak mampu melawan gelombang perlawanan semesta rakyat muna dibawah kepemimpinan Wa Ode Wa Kelu, sehingga mereka menerima keputusan Sarano wuna untuk melantik kembali La ode Ngkadiri Sebagai raja muna.

Penerimaan Tokoh dan masyarakat Muna terhadap kepemimpinan Wa Ode Wakelu sebagai raja Muna selain telah berhasil menunjukan sikap perlawanan terhadap penjajahan belanda, juga merupakan wujud implementasi kesetaraan gender dalam sistem pemerintahan tradisional kerajaan Muna.

9. Raja Muna XVI – La Ode Husaini gelar Omputo Sangia (1716-1767)
Pada masa Pemerintahan Raja La Ode Huseni (omputo sangia) terjadi reformasi pada struktur pemerintahan dan struktur masyarakat. Reformasi yang dilakukan oleh La ode husaini tersebut bertujuan agar setiap golongan mempunyai andil dan fungsi dalam roda pemerintahan. Selain itu dimaksudkan agar roda pemerintahan dapat berjalan secara efektif. 

Di masa pemerintahan Raja Muna La ode Huseni, dalam tatanan adat istiadat masyarakat Muna yang menyangkut soal akad nikah di tetapkan mahar menurut golongan masing-masing sebagai berikut:
  1. Untuk maharnya goloangan Kaomu 20 boka.
  2. Mahar golongan Walaka 10 boka 10 suku.
  3. Maharnya Lindo dan Fitu Bengkauno 7 boka 2 suku;
  4. Maharnya Wawono Liwu 3 boka 2 suku
Inilah hubungan antara golongan yang sukar dipisakan dan dihilangkan karena mempunyai hikmah yang mengadung makna menjurus pada poadha-adhati, poangka-angkatao, popia-piara dan pomoolo-moologho, yang menjadi landasan idiologi SOWITE.

Karena jasanya dalam menyempurnakan struktur Kerajaan, masyarakat dan adat tersebut, dikalangan masyarakat Muna La Ode Husaini di kenal sebagai “ Nembali Kolakino Wuna Nofotoka Bhesarano. Poentauno Alamu Popano, Malaikati Popano,Bhe Badhano Manusia, Bhewite”. Yang artinya kira-kita La Ode Huseni dinobatkan menjadi Raja Muna lengkap dengan struktur pemerintahan serta perangkat-perangkat jabatan yang semua bernuansa religius atau ke agamaan. Yakni agama Islam.

Pada tahun 1910 pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Muna. Akibatnya tatanan kehidupan social ekonomi kemasyarakatan Muna mengalami kesenjangan. Namun demikian Semangat “Koemo Bhada Sumamo Liwu, Koemo Liwu Sumamo Sara, Koemo Sara Semanumo Adhati, Koemo Adhati Sumanomo Agama” terus berkobar dalam jiwa setiap masyarakat Muna. Hal ini dapat dilihat dari terus dikobarkannya semangat perlawanan oleh seluruh masyarakat sampai Indonesia merdeka dalam kesatuan NKRI.

Bukti lain dari besarnya api semangat yang dimiliki masyarakat Muna adalah dimana hingga saat ini tatanan adat istiadat menurut golongan masing-masing masih tetap terpelihara di Masyarakat Muna walaupun sebahagian masyarakatnya tergolong modern dan berpendidikan tinggi. Bahkan walaupun mereka menjadi pejabat tinggi di pemerintahan tetapi semangat memelihara tatanan adat istiadat dalam jiwa mereka tidak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.

10.Raja Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege ( 1767 – 17 80 ),
La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis peradilan yang dinamakan mintarano bhitara (yang memangku kekuasaan peradilan).

Tidak diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut kesusilaan. 

11. Raja Muna XXIII – La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo ( 1800 – 1816 ).
Pada masa pemerintahan La Ode Sumaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan terhadap sistem adat dalam hal perkawinan.

Wa Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan yang berdara Kaomu (Keturunan Raja) akan menikah dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar mahar sebesar 400 Boka.

Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani pihak laki-laki.

Pemberontakan itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang. La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan Kesultanan Tiworo di bagian barat Pulau Muna.

Ketidak mampuan La Ode Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum rajam sampai mati. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo nesombo artinya Raja yang dihukum gantung.

15. Raja Muna XXIV – LA Ode Saete gelar Sorano Masigi (1816-1830).
La Ode Saete adalah Putera dari Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa panglima perang yang memimpin pemberontakan pada masa pemerintahan La Ode Sumaili. Setelah Waode Kadingke berhasil mengalahkan La Ode Sumaili, maka Sarano Wuna mengangkat La Ode Sumaili Puteranya sebagai Raja Muna XXIV menggantikan La Ode Sumaili yang telah dikalahkannya.

Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna. Alasan Penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna oleh Koalisi Buton-Belanda tersebut karena Wa Ode Kadingke dianggap telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat antara pihak Wa Ode Kadinge dengan Koalisi Buton-Belanda pada saat Wa Ode Kadingke meminta bantuan Belanda dan Buton untuk melawan Raja La Ode Sumaili.

Namun Sarano Wuna berpendapat lain, menurut Sarano Wuna kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kesepakatan antara Pemerintahan karena selain waktu itu Wa Ode Kadingke bukan seorang raja juga kesepakatan tersebut tidak mendapat persetujuan Sarano Wuna. Untuk itu Sarano Wuna berkesimpulan sendiri yaitu dapat saja mengesampingkan kesepakatan itu dan berhak mengangkat Raja berdasarkan hasil permusyawaratan Sarano Wuna.

Kendati Sarano Wuna tidak mengakui penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna, Namun Kesultanan Buton tetap memaksakan keinginannya itu. Dibawah pengawalan tentara Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton, La Ode Wita diantar ke Wuna untuk menjalankan kekuasaannya sebagai Wali Raja. Intervensi. Kesultanan Buton tersebut tentu saja mendapat penolakan dari Rakyat Kerajaan Muna dan Sarano Wuna Akibatnya terjadi beberapa kali perang bersenjata antara kedua Kerajaan. Selama masa pemerintahan LA Ode Saete tercatat lebih dari lima kali terjadi perang terbuka antara Kerajaan Muna dengan Kolaisi Buton-Belanda.

Karenanya sejak awal pemerintahan La Ode Saete, Belanda dan sekutunya Buton memerangi Kerajaan Muna sebagai akibat dari penolakan Sarano Wuna dan Rakyat Muna terhadap pengangkatan La Ode Wita sebagai Raja Muna yang di tunjuk oleh Belada, maka selama masa pemerintahannya tidak ada perubahan signifikan yang dilakukannya.

Menghadapi dua kekuatan besar tersebut, La Ode Saete tidak gentar. Dia terus menggalang kekuatan serta menyusun strategi dalam menghadapi perang tersebut dengan menyeruhkan perang semesta. Strategi yang pertama dipilih oleh La Ode Saete untuk menghadapi perang tersebut adalah memindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna. Setelah itu Raja La Ode Saete juga menyususn strategi perang dalam melakukan konfrontasi dengan pasukan Koalisi Buton-Belanda. Strategi yang dilakukan oleh La Ode Saete tersebut ternyata sangat jitu, sehingga Belanda tidak dapat menguasai Kerajaan Muna.

Karena La Ode Saete memindahkan Pusat Pemerintahan Kerajaan Muna dekat dengan Masjid, maka setelah mangkat La Ode Saete dianugrahi gelar ‘Omputo Sorano Masigi’ oleh Sarano Wuna yang artinya raja yang mendekati masjid.

Dalam perang antara kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Saete dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda, beberapa kali Pasukan Koalisi dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Muna. Tak mampu menundukan Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Wita Raja yang dilantik oleh Belanda akhirnya ditarik kembali Ke Kesultanan Buton. Sampai akhir masa pemerintahan La Ode Saete (1830) perang antara Kerajaan Muna dengan pasukan koalisi Buton-Belanda terus berlanjut. La Ode Saete mengakhiri masa pemerintahan karena mangkat.

16 Raja Muna XXV – La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1864 )
La Ode Bulae adalah Putera Raja Muna XXV La Ode Saete. Pada saat diangkat menjadi Raja Muna, La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan la ode Bulae sebagai Raja Muna berkenaan dengan mangkatnya ayahanda beliau La Ode Saete. Karena pada saat mangkat Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia 12 tahun yaitu laode bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya sebagai Raja Muna XXVI penggantikan ayahandanya.

Pengangkatan La Ode Bulae yang baru berusia 12 tahu tesebut menjadi dilema karena pada saat penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae masih terlalu muda dan dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang Pemimpin karena pada saat itu Muna sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui pemilihan yang dilakukan oleh sarano sangat tidak mungkin karena pasukan koalisi Buton-Benlanda terus mengganggu.

Dalam situasi yang pelik tersebutlah, maka SaranoWuna mengambil keputusan cepat dengan mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna XXV. Namu karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belum cakap menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna nmenunjuk La Aka (Bonto balano) untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala negara.

Lain dengan Belanda, moment mangkatnya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih sangat muda dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda.

Raja La Ode Bulae yang masih begitu muda tidak mampu melawan maklumat tersebut, sehingga untuk beberapa saat segala urusan administrasi pemerintahan dijalankan oleh Wali Raja dari Kesultanan Buton yang ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Setelah Dewasa, La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan Ayahandanya. La Ode Saete menyeruhkan untuk melakukan konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. La Ode Bulae menyeruhkan perang semesta terhadap Kolonial Belanda dan Buton sehingga terjadi perang besar antara Kerajaan Muna dengan Belanda dan sekutunya Buton.

Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam persidangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian diasingkan ke Bengkulu.

17. Raja Muna XXX – La Ode Ngkaili ( 1870-1907)
La Ode Ngkalili adalah raja Muna Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkalili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda. Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda-Buton. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk menggulingkan Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh Sarano Wuna.

18. Raja Muna XXXI – La Ode Ahmad Maktubu/ periode pertama (1907 –- 1914)
Setelah pasukan koalisi Belanda-Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili, penguasa Kolonial Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna sebagai Raja Muna XXXI. La Ode Maktubu adalah Putera Sultan Buton La Ode Salihi buah perkawinannya dengan putri raja Muna La Ode Bulae yang bernama Wa Ode Ogo.

Walaupun La Ode Ahmad Maktubu masih memiliki hubungan darah dengan Raja-Raja Muna, namun intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna tidak diterima oleh segenap masyarakat Kerajaan Muna sehingga terjadi penolakan terhadap pengangkatan La Ode Ahmad Maktubu tersebut.

Para Petinggi kerajaan Muna yang didukung oleh seluruh masyarakat Muna melakukan perlawanan dan menyeruhkan perang terbuka terhadap intervensi pemerintahan Kolonial tersebut. Salah satu dari wujud perlawanan itu adalah Sarano Wuna segera menggelar rapat dan bersepakat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna XXXI menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja Muna.

Besarnya dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak mengakui La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna, memaksa La Ode Ahmad Maktubu meninggalkan Muna dan kembali ke Buton. Sekembalinya di Buton, Laode Ahmad Maktubu mengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya Belanda. Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah Kolonial Belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.

Pada sebuah pertempuran di sekitar Lohia (Selat Buton) tahun 1907, pasukan sekutu Belanda-Buton berhasil mengalahkan prajurit kerajaan Muna dan menggulingkan pemerintahan La Ode Umara yang diangkat oleh sarano Wuna. Setelah berhasil menggulingkan Pemerintahan La Ode Umara, Belanda kembali menobatkan La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna sampai tahun 1914.

19. Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu (1914-1918)
Pada masa pemerintahan La Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna semakin kuat. Di akhir masa pemerintahan La Ode Pulu (1918) Pemerintah Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton secara sepihak melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Belanda dalam perjanjian itu diwakili oleh Residen Bougman sedangkan Kesultanan Buton di Wakili oleh Sultan Buton La Ode Muhammad Asyikin. Isi perjanjian tersebut adalah Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja Laiwoi dan Swapraja Buton. Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis Muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling.

Sebagai Raja yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu tidak mengakui perjanjian Korte Varklering tersebut sehingga beliau memimpin rakyat Muna untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Buton.

Karena kalah dalam persenjataan dan jumlah personil pasukan maka La Ode Pulu dan pasukannya dapat dikalahkan oleh Pasukan Koalisi Belanda-Buton. akhirnya La Ode Pulu dapat ditangkap dan di asingkan di Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerintahan La Ode Pulu, Kerajaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai dewan Adat (Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja).

20. Raja Muna XXXVI – La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ).
Pada tahun 1930, Sarano Wuna kembali mengadakan Rapat untuk mengangkat Raja Muna. Pada rapat yang digelar selama 7 hari tersebut, Sarano Wuna menyepakati untuk mengangkat seorang pejabat kampung yaitu Kino Labasa yang bernana La Ode Dika sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Rere yang digulingkan oleh Kolonial Belanda.

Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari material pembuatan masjid tersebut dibantu oleh kontrolir Belanda, Jules Couvreur yang bertugas di Muna saat itu.

Karena selama menjadi Raja Muna (8 Tahun) La Ode Dika sangat fokus terhadap pembangunan masjid, maka beliau digelar Komasigino artinya yang memiliki masjid. Selama bertugas di Muna Juleus Couvreur juga giat menelusuri sejarah dan mempelajari adat istiadat masyarakat Muna. Penelusurannya terhadap sejarah dan adat istiadat tersebut dituangkan dalam sebuah buku “Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna“ yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001. 

Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika juga tidak mau tunduk dengan Kolonial Belanda dan sekutunya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap perlawanan La Ode Dika tersebut di tunjukan saat berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton, La Ode Dika tidak mau memberi hormat pada Sultan, tapi malah justru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton.

Apa yang yang dilakukan La Ode Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika dipecat dari jabatannya sebagai Raja Muna.

Menurut La Ode Ali Hanafi salah seorang Putera La Ode Dika dalam Buku bigrafi “La Ode Dika Omputo Komasigino” yang ditulisnya mengatakan bahwa penobatan La Ode Dika sebagai raja Muna tidak melewati proses sebagai mana lazimnya penentuan kandidat raja . La Ode Dika sebagai mana tertuang dalam Biografi tersebut adalah satu-satunya raja yang dinobatkan menjadi Raja Muna yang tidak terlebih dahulu menjabat Kino Ghoera tetapi hanya menjabat sebagai kepala Kampung. Jabatan terakhir La Ode Dika sebelum menjadi Raja Muna adalah Kepala Kampung Labasa.

21. Raja Muna XXXVII – La Ode Pandu ( 1947-1956).
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna selama Sembilan tahun (1938-1947), pemerintah Belanda di Makassar mengangkat La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan Laode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu mengahiri masa pemerintahannya setelah meninggal akibat ditembak gerombolan DI/TII di Posunsuno Kecamatan Parigi saat melakukan kunjungan di Wasolangka.

Peristiwa penembakan tersebut terjadi saat Raja La Ode Pandu akan melakukan kunjungan ke Wasolangka. Kunjungan itu berkaitan terjadinya paceklik di wilayah tersebut akibat gagal panen. Dalam perjalanan menuju Wasolangka tersebutlah kendaraan yang ditumpangi Raja Muna La Ode Pandu dihadang para pemberontak DII/TII. Ikut menjadi korban dalam peristiwa itu adalaah sopir beliau dan pengawalnya. Sepeninggal La Ode Pandu tidak ada lagi proses pengangkatan Raja. Demikian pula dengan dewan sara bubar dengan sendiri. Olehnya itu Kerajaan Muna juga ikut bubar. Untuk selengkapnya dapat dibaca pada sejarah singkat kerajaan muna mengusir penjajah klik disini.

Hal tersebut menandai awal runtuhnya kedaulatan Kerajaan Muna dan makin kuatnya cengkaraman Belanda dan Buton di Muna. Walau demikian, para Raja-Raja Wuna berikutnya tetap Menolak Isi Perjanjian Korte Verklaring Tahun 1906 Antara Buton dan Belanda sehingga pergantian Raja-raja Muna berikutnya selalu tidak berlangsung lama. Perjuangan Rakyat Muna terus bergolak menentang penjajahan Belanda hingga akhirnya membentuk banyak laskar-laskar Rakyat dan beberapa Batalion tempur diantaranya Batalion Sadar yang merupakan embrio berdirinya KODAM WIRABUANA di Makassar dan Mendukung Kesepakatan Malino untuk bergabung dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Demikianlah sekilas yang dapat saya sampaikan terkait Perjuangan Raja-Raja Muna Dalam Membesarkan Kerajaan Muna hingga bergabung dengan pemerintah pusat dalam membentuk NKRI, buat rekan-rekanku sesama Suku Muna agar kita selalu mengingat sejarah singkat ini dan ilmu buat anak cucu kita yang patut untuk dibanggakan. Jika ada tambahan dari rekan-rekan sekalian silahkan tambahkan di kolom komentar untuk membagikan pengetahuannya terkait kebanggaan kita sebagai orang Muna. Semoga Bermanfaat.

Related Posts

0 Response to "Perjuangan Raja-Raja Muna Yang Tidak Boleh Dilupakan"

Posting Komentar