Hukum Berdiri Cepat Dalam Melengkapi Rakaat Shalat Menjadi Masbuk | ADDY SUMOHARJO BLOG

Hukum Berdiri Cepat Dalam Melengkapi Rakaat Shalat Menjadi Masbuk

Berdiri cepat untuk melengkapi rakaat yang tertinggal sebelum imam menyelesaikan tasyahud akhir dengan mengucap salam ke kiri dan kekanan juga merupakan hal yang terlarang Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jangan mendahuluiku dalam ruku', sujud dan jangan pergi dari shalat (Al-Insiraf)". Para ulama berpedapat bahwa Al-Insiraf, ada pada tasyahud akhir. Seseorang yang mendahului imam harus tetap pada tempatnya sampai imam menyelesaikan shalatnya (sempurna salamnya). Baru setalah itu dia berdiri dan melengkapi rakaat yang tertinggal.

Terdapat dalam ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (37/163), “Malikiyah mengatakan, “Masbuk (makmum yang tertinggal rakaat imam) kalau berdiri untuk menambah rakaat yang terlewatkan setelah salam imam kalau dia berdiri sebelum salam imam, maka shalatnya batal.”

Syafiiyyah mengatakan, “Dianjurkan bagi masbuk agar tidak berdiri menyelesaikan yang tersisa kecuali setelah selesainya imam dari dua salam. Kalau dia berdiri setelah selesai dari ucapan ‘Assalamu’alaikum’ pertama, itu dibolehkan. Kalau dia telah keluar dari (salam) pertama. Kalau dia berdiri sebelum imam memulai dua salam, maka shalatnya batal. Kalau dia berdiri setelah imam memulai salam sebelum selesai dari ucapan ‘’Alaikum’ maka dia berdiri seperti sebelum memulai (salam).

Hanabilah mengatakan, “Masbuk berdiri untuk mengqado apa yang tertinggal setelah salamnya imam yang kedua. Kalau dia berdiri sebelum salamnya imam dan tidak kembali agar berdiri setelah salam (kedua), maka shalatnya berubah menjadi (shalat) sunah.”

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Rekan-rekan kami bersepakat bahwa dianjurkan bagi masbuk agar tidak berdiri melanjutkan rakaat yang tersisa kecuali setelah imam selesai dari dua salam. Yang menegaskan hal itu adalah Al-Baghawi dan Mutawali serta lainnya. Ditegaskan hal itu oleh Syafi’I rahimahullah dalam Mukhtasor Buwaithi seraya mengatakan, “Siapa yang mendahului imam dengan sesuatu dari shalat, hendaknya jangan berdiri menambah rakaat sisa kecuali setelah imam selesai dari dua salam. Rekan-rekan kami mengatakan, “Kalau dia berdiri setelah selesai dari ucapan ‘Assalamu’alaikum’ di salam pertama, itu dibolehkan karena imam telah keluar dari shalat.” (Al-Majmu, 3/483).

Beliau juga mengatakan, “Kalau imam salam pertama, maka selesai ketentuam makmum harus mengikutinya. Baik yang bersama dari awal atau masbuk karena imam telah keluar dari shalat.” (Al-Majmu, 3/484).

Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Al-Laits mengatakan terkait dengan masbuk pada sebagian shalat, “Saya berpendapat tidak mengapa dia (masbuk) berdiri setelah salam pertama.” (Al-Istizkar, 1/489).

Dengan demikian maka, kalau berdirinya anda yang kedua setelah ucapan imam selesai ‘Assalamu’alaikum’ dari salam pertama, maka shalat anda sah menurut pendapat jumhur dan batal menurut yang terkenal dari mazhab Hanabilah sehingga anda harus mengulanginya. Pendapat jumhur lebih kuat insyaAllah. Terutama terkait dengan shalat-shalat yang lalu, karena kuatnya perbedaan di dalamnya dan banyaknya orang yang mengatakan keabsahan shalat seperti itu, sampai dikatakan ijmak. Meskipun untuk berikutnya selayaknya berhati-hati dalam masalah shalatnya. Jangan keluar kecuali setelah yakin salam imam yang kedua telah selesai.

Ada perbedaan pendapat di antara jumhur ulama dengan mazhab Asy-syafi'iyah tentang penggantian rakaat yang tertinggal.

1. Jumhur
Menurut pendapat jumhur ulama, yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah, rakaat shalat yang dilakukan masbuk bersama imam adalah rakaat yang sesusai dengan rakaat imam, dan bukan rakaatnya makmum.

Misalnya imam mengerjakan shalat Dzhuhur dan sudah sampai ke rakaat kedua. Kalau ada makmum masbuk datang dan ikut imam pada saat itu, maka makmum itu berniat langsung mengerjakan rakaat kedua sebagaimana rakaatnya imam. Rakaat pertama ditinggalkan saja dulu untuk nanti dikerjakan sendirian seusai imam mengucapkan salam.

Demikian juga, bila makmum ikut saat imam sudah berada pada rakaat ketiga dan keempat, maka dia berniat untuk mengerjakan rakaat ketiga dan keempat sebagaimana imam. Ada pun rakaat pertama dan keduanya dikerjakan sendirian dan belakangan seusai imam memberi salam.

Konsekuensinya, ketika imam melakukan tasyahhud awal dan akhir, niat makmum masbuk pasti akan sama dengan niat imam. Bahkan cara duduk taysahhud akhirnya pun tetap mengkuti imam.

Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah disebutkan bahwa seusia imam salam, masbuk berdiri lagi mengerjakan rakaat pertama dan kedua yang tertinggal. Hal itu lantaran pada rakaat pertama dan kedua ada bacaan surat Al-Quran dan tsyahhud awal yang terlewat.

Oleh karena itulah pada saat berdiri lagi itu niatnya justru mengerjakan rakaat pertama dan kedua, dengan membaca surat Al-Quran dan mengerjakan tasyahhud awal.

Misalnya dalam shalat Maghrib yang tiga rakaat itu masbuk baru ikut imam pada rakaat ketiga. Maka ketika mulai shalat, masbuk justru berniat mengerjakan rakaat ketiga juga. Begitu imam selesai, dia berdiri untuk mengerjakan rakaat pertama dan kedua. Di kedua rakaat itu, masbuk membaca surat Al-Quran dan duduk bertasyahhud awal di rakaat tengah-tengah. Sehingga kalau dihitung masbuk mengerjakan tiga kali tasyahhud dalam tiga rakaat shalat Maghribnya itu.

2. Mazhab Asy-syafi'iyah
Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah justru berpandangan sebaliknya, yaitu sebagaimana umumnya kita bangsa Indonesia belajar tentang hukum masbuk saat ini. Ketika makmum masbuk ikut imam di rakaat kedua, niatnya tetap mengerjakan rakaat pertama. Begitu juga meski imam sudah berada di rakaat ketiga atau keempat, tetap saja niat masbuk adalah mengerjakan rakaat pertama dulu.

Dasarnya adalah hadits berikut ini :
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Apa yang bisa kamu dapat lakukanlah shalat dan apa yang terlewat maka sempurnakanlah (HR. Bukhari)

Hadits ini dipahami bahwa perintahnya menggunakan kata fa-atimmu (فأتموا) yang bermakna sempurnakanlah. Dan yang namanya menyempurnakan bila yang awal sudah dikerjakan lebih dulu, baru kemudian mengerjakan kekurangannya. Dan mengerjakan yang kurang adalah mengerjakan rakaat-rakaat berikutnya.

Namun ketika imam berada pada rakaat kedua dan duduk tasyahhud awal, masbuk yang niatnya masih rakaat pertama tetap harus ikut duduk tasyahhud awal juga sebagaimana imam. Apabila masbûq mendapatkan shalat berjamaah maka dia mengikuti imam dalam semua perbuatan shalat, lalu menyempurnakan yang terlewatkan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Apabila kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang dan santai dan jangan terburu-buru. Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah [HR. Al-Bukhâri, no. 636]

Dengan demikian, orang yang mendapatkan imam yang telah memulai shalatnya dan masih dalam shalat, maka hendaknya dia langsung mengikuti imam setelah dia melakukan takbîratul ihram, walaupun imam sedang berada ditasyahhud akhir. Ini berdasarkan keumuman hadits di atas.

Apabila imam salam, maka orang yang masbûq tidak ikut salam tapi ia harus berdiri untuk menyempurnakan reka’atnya yang terlewatkan dengan cara sebagai berikut:

1. Apabila ia mendapatkan imam dalam keadaan sedang ruku’, berarti dia telah mendapatkan raka’at bersama imam. Inilah pendapat mayoritas Ulama seperti empat imam dan lainnya. Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu dan yang lainnya. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ مَعَ الْإِمَامِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Siapa yang mendapati satu raka’at shalat bersama imam, maka ia mendapati shalat. [HR. Muslim, no. 162). Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam Shahihnya no. 1595 dengan lafaz :
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ، فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الْإِمَامُ صُلْبَهُ
Siapa yang mendapati satu raka’at shalat maka ia mendapati shalat sebelum imam meluruskan tulang punggungnya. Juga berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا، وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Jika kalian datang untuk shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah dan jangan menganggapnya satu raka’at, siapa yang mendapati satu raka’at maka ia mendapati shalat. [HR. Abu Dawûd, no. 896 dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albâni]

Hadits Abu Bakrah Radhiyallahu anhu berikut memperjelas masalah ini:
أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ حَدَّثَ أَنَّهُ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَنَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاكِعٌ، قَالَ: فَرَكَعْتُ دُونَ الصَّفِّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
Sungguh Abu Bakrah telah menceritakan bahwa dia mendapati Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam dalam keadaan ruku’ lalu ia berkata, “Lalu akupun ruku’ sebelum sampai masuk ke shaf, kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda, “Semoga Allâh k menambah semangatmu dan jangan mengulanginya’.”

Dari dalil ini terpahami, kalau orang masbûq yang dapat ruku’ beserta imam tidak dianggap (satu raka’at), maka tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya untuk mengganti raka’at itu. Akan tetapi tidak ada riwayat yang menerangkan perintah tersebut. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang dapat ruku’ bersama imam, maka dia telah mendapatkan (satu) raka’at. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh bin Bâz dalam Majmu’ Fatâwa beliau [13/160-162].

2. Apabila ia mendapati imam dalam keadaan telah berdiri dari ruku’ (i’tidâl), berarti ia tertinggal raka’at tersebut, apalagi bila ia mendapati imam telah atau sedang sujud. Ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا، وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Jika kalian datang untuk shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah dan janganlah kalian menganggapnya satu raka’at, siapa yang mendapati satu raka’at berarti ia mendapati shalat [HR. Abu Dawûd, no. 896 dan hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]

3. Apabila ia tertinggal satu raka’at dari imam, maka ia menyempurnakannya setelah imam salam dan tidak menjahrkan bacaannya walaupun dalam shalat jahriyah, karena itu adalah akhir shalatnya. Hanya saja ada perbedaan pendapat tentang hukum membaca surat al-Qur`an setelah al-Fatihah berdasarkan perbedaan riwayat hadits Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu :
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah [HR. Al-Bukhâri, no. 636] Pada riwayat Mu’awiyah bin Hisyam dari Syaiban dengan lafadz : فَاقْضُوا (mengqadha’nya).

Mayoritas Ulama memandang bacaan surat setelah al-Fatihah yang terlewatkan dalam raka’at pertama harus diqadha’ atau dibaca setelah al-Fatihah. Oleh karena itu asy-Syaukâni rahimahullah menukil pernyataan al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Bâri ketika menjelaskan pendapat ini. Beliau rahimahullah menyatakan, “Mayoritas Ulama telah mengamalkan kedua lafazh ini. Mereka menyatakan bahwa apa yang didapatkan bersama imam adalah awal shalatnya, namun ia mengqadha’ bacaan surat yang terlewatkan bersama ummul Qur`an (al-Fatihah) dalam shalat yang empat raka’at (ar-ruba’iyah) dan tidak disunnahkan untuk mengulangi bacaan secara keras (al-jahr) pada dua raka’at tersisa. Dasar argumentasi ini adalah pernyataan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu :
مَا أَدْرَكْتَ مَعَ الْإِمَامِ فَهُوَ أَوَّلُ صَلَاتِكَ، وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ بِهِ مِنْ الْقُرْآن
Yang kamu dapatkan bersama imam maka itu awal shalatmu dan qadha’ lah yang terlewatkan dari al-Qur`an. [HR. Al-Baihaqi] Sedangkan pendapat Ishâq rahimahullah dan al-Muzani rahimahullah adalah tidak membaca kecuali al-Fatihah saja. al-Hâfiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Ini sesuai Qiyâs.

4. Apabila tertinggal dari imam sebanyak dua raka’at, maka dia menunaikannya setelah imam salam. Apabila shalatnya empat raka’at maka dua raka’at tersisa dilakukan sesuai dengan tata cara shalat pada raka’at ketiga dan keempat tanpa mengeraskan bacaan. Apabila pada shalat tiga raka’at seperti shalat Magrib disunnahkan mengeraskan bacaan al-Fatihah dan surat di raka’at yang dilakukan setelah imam salam, karena itu dianggap raka’at yang kedua bagi masbûq tersebut dan duduk tahiyat awal. Kemudian shalat untuk raka’at ketiga seperti biasanya dan salam.

5. Apabila tertinggal dari imam sebanyak tiga raka’at dalam shalat yang empat raka’at, maka dia menunaikannya tiga raka’at tersisa setelah imam salam. Menjadikan raka’at setelah imam salam sebagai raka’at kedua yang biasa dilakukan karena itu dianggap raka’at yang kedua bagi masbûq tersebut dan duduk tahiyat awal. Apabila tertinggal tiga raka’at dalam shalat Magrib maka masbûq melaksanakan shalat magrib seperti biasanya dan salam.

6. Apabila tertinggal dari imam sebanyak empat raka’at, maka dia menunaikan shalat secara utuh setelah imam salam.

7. Apabila Masbûq mendapati imam dalam keadaan ruku’ atau sujud maka ia bertakbîr takbîratul ihrâm lalu bertakbir lagi setelahnya dengan takbir pindah untuk ruku’ atau sujud bersama imam. Apabila mendapatkan imam sedang duduk tahiyat awal atau duduk diantara dua sujud maka tidak bertakbir kecuali takbiratul ihram saja kemudian duduk bersama imam tanpa takbir dan jangan menunggu imam berdiri pada raka’at berikutnya untuk berjamaah dalam shalat.

8. Ketika berdiri untuk menyempurnakan shalat setelah imam salam, maka makmum yang masbûq bertakbir apabila mendapatkan bersama imam dua raka’at terakhir dari shalat yang empat raka’at atau yang tiga raka’at seperti Maghrib. Hal ini karena duduknya bersama imam dalam tahiyat sesuai dengan keharusannya. Apabila mendapatkan bersama imam dalam satu raka’at saja, maka yang masbûq tersebut bangun tanpa bertakbir, karena duduk tahiyatnya bersama imam tidak seharusnya dan dilakukan hanya untuk mengikuti dan menyesuaikan imam. Apabila mendapatkan bersama imam kurang dari satu raka’at seperti mendapati imam sedang sujud atau tahiyat akhir maka ia bangun dengan bertakbir, karena itu seperti pembuka shalatnya.

Related Posts

0 Response to "Hukum Berdiri Cepat Dalam Melengkapi Rakaat Shalat Menjadi Masbuk"

Posting Komentar