Terkadang kita berfikir kurang baik terhadap sesuatu hal yang menimpa dirinya yang biasanya kita sebut su-udzan, yang merupakan lawan kata dari khusnudzan (berbaik sangka). Islam mengajarkan ummatnya untuk selalu berbaik sangka atau berfikir positif termasuk bersikap positif dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari su-udzan tersebut.
Rasulullah saw sangat menganjurkan sikap ini, dan bahkan menyatakannya sebagai ciri seorang mukmin, dan beliau menyanjungnya lewat sabdanya: "Sungguh menakjubkan sikap seorang mukmin yang memandang baik segala sesuatunya. Sikap ini tidak pernah dijumpai pada ummat lain kecuali pada mukminin, yakni ketika dia mendapatkan kebaikan, dia bersyukur dan itu baik untuknya. Jika mendapatkan keburukan, dia bersabar dan inipun baik untuknya." (HR. Muslim)
Sebagai seorang mukmin hendaklah kita menyadari bahwa hal-hal yang baik dan buruk itu akan datang silih berganti menimpa diri kita, digilir dan dituliskan oleh Allah swt. Sekarang senang tetapi dilain waktu sedih.
Sekarang sehat, mungkin di beberapa waktu lalu sakit. Kadang sangat mudah dapat rejeki tetapi disaat lain rejeki itu sangat sulit untuk diperoleh walaupun sudah sangat gigih untuk mengusahakannya. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan ini tidaklah lurus dan tetap tetapi penuh perubahan, gelombang yang bahkan saling bertolak belakang. Oleh karena itu dalam menghadapi susah, senang, sehat, sakit, kekayaan, kemiskinan dsb ini hendaklah kita mengacu kepada hadits diatas.
Memang wajar ketika mendapat kebahagiaan kita akan gembira tetapi janganlah kita gembira berlebihan apalagi dengan berpesta pora. Tetapi hendaklah kita bersyukur dan berusaha memanfaatkan kebahagiaan itu untuk lebih mendekatkan diri kepadanya misalnya dengan beribadah yang lebih tekun, berzakat, bersedekah dsb. Demikian juga ketika mendapat sesuatu kegagalan, kesusahan atau musibah, juga wajar kita bersedih. Tetapi hendaklah jangan berlarut-larut dan hendaklah kita bersabar menghadapinya dan tidak berkeluh kesah.
Hal ini perlu kita perhatikan karena hal ini telah disinggung Allah swt melalui firmanNya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir." (QS 70:19-21).
Akan tetapi ada hal yang harus kita ingat bahwa bersabar itu bukan hanya berarti menerima dengan pasrah saja (nrimo). Hendaklah segala kesusahan atau musibah itu kita jadikan suatu pelajaran bagi kita dan dapat disari hikmah yang terkandung didalamnya dan tentu harus diterima dengan lapang dada. Hal itu juga dapat kita jadikan sebagi bahan rujukan untuk melangkah pada strategi kehidupan selanjutnya dengan selalu berupaya membuat perbaikan-perbaikan menurut aturan yang telah ditetapkan Allah.
Selama kita telah berupaya melakukannya menururut aturanNya, maka musibah itu sebenarnya adalah ujian dari Allah. Laksana seseorang yang akan naik kelas yang harus diuji dahulu untuk dapat menempati kelas yang lebih tinggi. Makin tinggi tingkat yang akan dicapai tentu ujiannya juga makin berat atau Allah akan memberikan cobaan yang lebih kepada hambaNya yang lebih kuat imannya.
Nach, inilah wujud dari kesabaran tersebut. Dan perlu kita ingat bahwa Allah tidak akan memberikan beban kepada hambanya yang tidak dapat memikul beban tersebut. Namun jika musibah itu timbul disebabkan oleh pengingkaran dari aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah, maka hanyalah tobat yang paling layak kita lakukan. Sesungguhnya azab Allah itu sangat pedih. Semoga bermanfaat.