Sehalus-halus kehinaan di sisi ALLOH
adalah tercerabutnya kedekatan kita dari sisi-Nya. Hal ini biasanya ditandai
dengan kualitas ibadah yang jauh dari meningkat, atau bahkan malah menurun.
Tidak bertambah bagus ibadahnya, tidak bertambah pula ilmu yang dapat
membuatnya takut kepada ALLOH, bahkan justru maksiat pun sudah mulai dilakukan,
dan anehnya yang bersangkutan tidak merasa rugi. Inilah tanda-tanda akan
tercerabutnya nikmat berdekatan bersama ALLOH Azza wa Jalla.
Pantaslah bila Imam Ibnu Athoillah
pernah berujar, "Rontoknya iman
ini akan terjadi pelan-pelan, terkikis-kikis sedikit demi sedikit sampai
akhirnya tanpa terasa habis tandas tidak tersisa". Demikianlah yang
terjadi bagi orang yang tidak berusaha memelihara iman di dalam kalbunya.
Karenanya jangan pernah permainkan nikmat iman di hati ini.
Ada sebuah kejadian yang semoga
dengan diungkapkannya di forum ini ada hikmah yang bisa diambil. Kisahnya dari
seorang teman yang waktu itu nampak begitu rajin beribadah, saat shalat tak
lepas dari linang air mata, shalat tahajud pun tak pernah putus, bahkan anak
dan istrinya diajak pula untuk berjamaah ke mesjid.
Selidik punya selidik, ternyata saat
itu dia sedang menanggung utang. Karenanya diantara ibadah-ibadahnya itu dia
selipkan pula doa agar utangnya segera terlunasi. Selang beberapa lama, ALLOH
Azza wa Jalla, Zat yang Mahakaya dan Maha Mengabulkan setiap doa hamba-Nya pun
berkenan melunasi utang rekan tersebut.
Sayangnya begitu utang terlunasi
doanya mulai jarang, hilang pula motivasinya untuk beribadah. Biasanya kehilangan
shalat tahajud menangis tersedu-sedu, "Mengapa Engkau tidak membangunkan
aku, ya ALLOH?!", ujarnya seakan menyesali diri. Tapi lama-kelamaan
tahajud tertinggal justru menjadi senang karena jadual tidur menjadi cukup.
Bahkan sebelum azan biasanya sudah menuju mesjid, tapi akhir-akhir ini datang
ke mesjid justru ketika azan. Hari berikutnya ketika azan tuntas baru selesai
wudhu. Lain lagi pada besok harinya, ketika azan selesai justru masih di rumah,
hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk shalat di rumah saja.
Begitupun untuk shalat sunat,
biasanya ketika masuk mesjid shalat sunat tahiyatul mesjid terlebih dulu dan
salat fardhu pun selalu dibarengi shalat rawatib. Tapi sekarang saat datang
lebih awal pun malah pura-pura berdiri menunggu iqamat, selalu ada saja
alasannya. Sesudah iqamat biasanya memburu shaf paling awal, kini yang diburu
justru shaf paling tengah, hari berikutnya ia memilih shaf sebelah pojok,
bahkan lama-lama mencari shaf di dekat pintu, dengan alasan supaya tidak
terlambat dua kali. "Kalau datang terlambat, maka ketika pulang aku tidak
boleh terlambat lagi, pokoknya harus duluan!" Pikirnya.
Saat akan shalat sunat rawatib, ia
malah menundanya dengan alasan nanti akan di rumah saja, padahal ketika sampai
di rumah pun tidak dikerjakan. Entah disadari atau tidak oleh dirinya, ternyata
pelan-pelan banyak ibadah yang ditinggalkan. Bahkan pergi ke majlis ta'lim yang
biasanya rutin dilakukan, majlis ilmu di mana saja dikejar, sayangnya
akhir-akhir ini kebiasaan itu malah hilang.
Ketika zikir pun biasanya selalu
dihayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di mulut dengan suasana
hati, sama sekali bak gayung tak bersambut. Mulut mengucap, tapi hati malah
keliling dunia, masyaallah. Sudah dilakukan tanpa kesadaran, seringkali pula
selalu ada alasan untuk tidak melakukannya. Saat-saat berdoa pun menjadi
kering, tidak lagi memancarkan keuatan ruhiah, tidak ada sentuhan, inilah
tanda-tanda hati mulai mengeras.
Kalau kebiasaan ibadah sudah mulai
tercerabut satu persatu, maka inilah tanda-tanda sudah tercerabutnya taupiq
dari-Nya. Akibat selanjutnya pun mudah ditebak, ketahanan penjagaan diri
menjadi blong, kata-katanya menjadi kasar, mata jelalatan tidak terkendali, dan
emosinya pun mudah membara.
Apalagi ketika ibadah shalat yang
merupakan benteng dari perbuatan keji dan munkar mulai lambat dilakukan,
kadang-kadang pula mulai ditinggalkan. Ibadah yang lain nasibnya tak jauh beda,
hingga akhirnya meningallah ia dalam keadaan hilang keyakinannya kepada ALLOH.
Inilah yang disebut suul khatimah (jelek di akhir), naudzhubillah. Apalah
artinya hidup kalau akhirnya seperti ini.
Ada lagi sebuah kisah pilu ketika
suatu waktu bersilaturahmi ke Batam. Kisahnya ada seorang wanita muda yang
tidak bisa menjaga diri dalam pergaulan dengan lawan jenisnya sehingga dia
hamil, sedangkan laki-lakinya tidak tahu entah kemana (tidak bertanggung
jawab). Hampir putus asa ketika si wanita ini minta tolong kepada seorang
pemuda mesjid. Ditolonglah ia untuk bisa melakukan persalinan di suatu klinik
bersalin, hingga ia bisa melahirkan dengan lancar. Walau tidak jelas siapa
ayahnya, akhirnya si wanita ini pun menjadi ibu dari seorang bayi mungil.
Sayangnya, sesudah beberapa lama
ditolong, sifat-sifat jahiliyahnya kambuh lagi. Mungkin karena iman dan ilmunya
masih kurang, bahkan ketika dinasihati pun tidak mempan lagi hingga akhirnya
dia terjerumus lagi. Demikianlah kisah si wanita ini, ia kembali hamil di luar
nikah tanpa ada pria yang mau bertanggung jawab.
Lalu ditolonglah ia oleh seseorang
yang ternyata aqidahnya beda. Si orang yang akan membantu pun menawarkan
bantuan keuangan dengan catatan harus pindah agama terlebih dulu. Si wanita pun
menyetujuinya, dalam hatinya "Toh hanya untuk persalinan saja, setelah
melahirkan aku akan masuk Islam lagi". Tapi ternyata ALLOH menentukan
lain, saat persalinan itu justru malaikat Izrail datang menjemput, meninggalah
si wanita dalam keadaan murtad, naudzhubillah.
Cerita ini nampaknya bersesuaian
pula dengan sebuah kisah klasik dari Imam Al Ghazali. Suatu ketika ada
seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi muazin di sebuah menara tinggi di
samping mesjid. Kebetulan di samping mesjid itu adapula sebuah rumah yang
ternyata dihuni oleh keluarga non-muslim, diantara anak-anak keluarga itu ada
seorang anak perempuan berparas cantik yang sedang berangkat ramaja.
Tiap naik menara untuk azan, secara
tidak disengaja tatapan mata sang muazin selalu tertumbuk pada si anak gadis
ini, begitu pula ketika turun dari menara. Seperti pepatah mengatakan
"dari mata rurun ke hati", begitulah saking seringnya memandang, hati
sang muazin pun mulai terpaut akan paras cantik anak gadis ini. Bahkan saat
azan yang diucapkan di mulut Allahuakbar-Allahuakbar, tapi hatinya malah khusyu
memikirkan anak gadis itu.
Karena sudah tidak tahan lagi, maka
sang muazin ini pun nekad mendatangi rumah si anak gadis tersebut dengan tujuan
untuk melamarnya. Hanya sayang, orang tua si anak gadis menolak dengan
mentah-mentah, apalagi jika anaknya harus pindah keyakinan karena mengikuti
agama calon suaminya, sang muazin yang beragama Islam itu. "Selama engkau
masih memeluk Islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku ijinkan anakku
menjadi istrimu" ujar si Bapak, seolah-olah memberi syarat agar sang
muazin ini mau masuk agama keluarganya terlebih dulu.
Berpikir keraslah sang muazin ini,
hanya sayang, saking ngebetnya pada gadis ini, pikirannya seakan sudah tidak
mampu lagi berpikir jernih. Hingga akhirnya di hatinya terbersit suatu niat,
"Ya ALLOH saya ini telah bertahun-tahun azan untuk mengingatkan dan
mengajak manusia menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu dan telah
pula memberikan balasan pahala yang setimpal. Tetapi saat ini aku mohon
beberapa saat saja ya ALLOH, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak
gadis ini, setelah menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam".
Baru saja dalam hatinya terbersit niat seperti itu, dia terpeleset jatuh dari
tangga menara mesjid yang cukup tinggi itu. Akhirnya sang muazin pun meninggal
dalam keadaan murtad dan suul khatimah.
Kalau kita simak dengan seksama uraian-uraian
kisah di atas, nampaklah bahwa salah satu hikmah yang dapat kita ambil darinya
adalah jikalau kita sedang berbuat kurang bermanfaat bahkan zhalim, maka salah
satu teknik mengeremnya adalah dengan 'mengingat mati'. Bagaimana kalau kita
tiba-tiba meninggal, padahal kita sedang berbuat maksiat, zhalim, atau aniaya?
Tidak takutkah kita mati suul khatimah? Naudzhubillah. Ternyata ingat mati
menjadi bagian yang sangat penting setelah doa dan ikhtiar kita dalam
memelihara iman di relung kalbu ini. Artinya kalau ingin meninggal dalam
keadaan khusnul khatimah, maka selalulah ingat mati.
Dalam hal ini Rasulullah SAW telah
mengingatkan para sahabatnya untuk selalu mengingat kematian. Dikisahkan pada
suatu hari Rasulullah keluar menuju mesjid. Tiba-tiba beliau mendapati suatu
kaum yangsedang mengobrol dan tertawa. Maka beliau bersabda, "Ingatlah
kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu
mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak
menangis."
Dan ternyata ingat mati itu efektif
membuat kita seakan punya rem yang kokoh dari berbuat dosa dan aniaya.
Akibatnya dimana saja dan kapan saja kita akan senantiasa terarahkan untuk
melakukan segala sesuatu hanya yang bermanfaat. Begitupun ketika misalnya, mendengarkan
musik ataupun nyanyian, yang didengarkan pasti hanya yang bermanfaat saja,
seperti nasyid-nasyid Islami atau bahkan bacaan Al Quran yang mengingatkan kita
kepada ALLOH Azza wa Jalla. Sehingga kalaupun malaikat Izrail datang menjemput
saat itu, alhamdulillah kita sedang dalam kondisi ingat kepada ALLOH. Inilah
khusnul khatimah.
Bahkan kalau kita lihat para arifin
dan salafus shalih senantiasa mengingat kematian, seumpama seorang pemuda yang
menunggu kekasihnya. Dan seorang kekasih tidak pernah melupakan janji
kekasihnya. Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah r.a. bahwa ketika kematian
menjemputnya, ia berkata, "Kekasih datang dalam keadaan miskin. Tiadalah
beruntung siapa yang menyesali kedatangannya. Ya ALLOH, jika Engkau tahu bahwa
kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat,
dan kematian lebih aku sukai daripada kehidupan, maka mudahkanlah bagiku
kematian sehingga aku menemui-Mu."
Akhirnya, semoga kita digolongkan
ALLOH SWT menjadi orang yang beroleh karunia khusnul khatimah. Amin!