Orang yang pasti tidak nyaman dalam
keluarga, orang yang pasti tidak tentram dalam bertetangga, orang yang pasti
tidak nikmat dalam bekerja adalah orang-orang yang paling busuk hatinya.
Yakinlah, bahwa semakin hati penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria,
penuh kedengkian, kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya
untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi
orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang
suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati
lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau hatinya
terpenjara, tetap akan jadi masalah.
Salah satu yang harus dilakukan agar
seseorang terampil bening hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain
berbuat salah. Sebab, istri kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat
salah, tetangga kita akan berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah,
atasan di kantor kita akan berbuat salah karena memang mereka bukan malaikat.
Namun sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya kesalahannya, yang jadi masalah
adalah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.
Sebetulnya sederhana sekali
tekniknya, tekniknya adalah tanya pada diri, apa sih yang paling diinginkan
dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat
berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain
bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang
lain bisa bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak
ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun
hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan
penuh etika. Kita ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kita juga ingin disemangati agar
bisa berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika
orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis,
memarahi, bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!
Ah, Sahabat. Seharusnya ketika ada
orang lain berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka
yang harus kita lakukan adalah dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar,
sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita
harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam skala
apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin
kualitas pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang
pemimpin yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.
Oleh karena itu, andaikata ada orang
melakukan kesalahan, maka sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah
orang berbuat salah ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah ? Kenapa ada orang
yang berbuat salah dan dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau
bukan. Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari desa yang dibawa ke kota
untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja,
dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi,
toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang percuma, mengapa ?
Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di
desanya tidak ada aturan penghematan air, di desanya juga tidak ada kewajiban
membayar biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di desanya air masih begitu
melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan
pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, dia tahu
tidak bahwa ini sebuah kesalahan.
Lalu, kalau dia belum tahu
kesalahannya, maka kita harus memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki,
dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu
bahwa dirinya salah, seperti halnya, bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil
yang belum tahu tata nilai perilaku orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah
ada pembantu yang umurnya baru 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun,
hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas
kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah
rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu
panjang pula yang kita lalui.
Sebuah pengalaman, dulu ketika
pulang sehabis diopname beberapa hari di rumah sakit karena diuji dengan sakit.
Saat tiba di rumah, ada kabar tidak enak, yaitu omzet toko milik pesantren
menurun drastis! Meledaklah kemarahan, "Kenapa ini santri bekerja kok
enggak sungguh-sungguh ? Lihat akibatnya, kita semua jadi rugi! Pimpinan sakit
harusnya berjuang mati-matian!".
Tapi alhamdulillah, istri mengingatkan, "Sekarang ini Aa umur 32 tahun, santri yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain melakukan seperti apa yang mampu kita lakukan saat ini, sementara dia ilmunya, kemampuannya, dan juga pengalamannya masih terbatas?! Mungkin dia sudah melakukan yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita belum mampu untuk jaga toko". Subhanallah, pertolongan ALLAH datang dari mana saja. Oleh karena itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah dia ini tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh dia belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya, "De', ini salah, harusnya begini".
Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat salah dari
tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya. Selalu
kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.
Tahap kedua,
kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya, karena ada orang yang
tahi itu suatu masalah, tapi dia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya?
Maka, posisi kita adalah membantu orang yang berbuat salah mengetahui jalan
keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih sederhana,
ketika masih berupa kost-kostan mahasiswa, muncul suata masalah di kamar paling
pojok yang dihuni seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan
turun, "Wah, ini massalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor
lagi".
Dia tahu ini masalah, tapi dia tidak
tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus bantu, tapi bantuan kita yang
paling bagus adalah bukan menyelesaikan masalah, tapi membantu dia supaya bisa
menyelesaikan masalahnya. Sebab, bantuan itu ada yang langsung menyelesaikan
masalah, namun kelemahan bantuan ini, yaitu ketika kita membantu orang dan kita
menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus, ia akan punya
ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita akan membunuh
kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Bantuan yang terbaik adalah
memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.
Dan tahap yang ketiga adalah membantu orang yang berbuat salah agar
tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih menyelesaikan
masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan, karena apa? Karena
anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian dari keluarga
kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan kita, kenapa
kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan,
apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu,
apa yang berharga pada diri kita ? Padahal, justru kalau kita melihat orang
lain salah, maka posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.
Nah, Sahabat. Selalulah yang kita
lakukan adalah berusaha membantu agar orang yang berbuat salah mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah
mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan. Membantu orang yang
berbuat salah agar ia tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan
membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki
kesalahan dirinya.
Melihat orang yang belum shalat,
justru harus kita bantu dengan mengingatkan dia tentang pentingnnya shalat,
membantu mengajarinya tata cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya
supaya dia tetap bersemangat untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat
pemabuk, justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk,
membantu mengenal bagaimana cara menghentikan aktivitas mabuk. Artinya,
selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang
yang pola pikirnya selalu rindu untuk membantu memperbaiki kesalahan orang
lain, dia tidak akan pernah benci kepada siapapun. Tentu saja ini lebih baik,
dibanding orang yang hanya bisa meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci.
Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan kita pun sebenarnya gudang kesalahan.