Hukum Merayakan Hari Ulang Tahun | ADDY SUMOHARJO BLOG

Hukum Merayakan Hari Ulang Tahun

Karenanya tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam untuk merayakan hari ulang tahun (apa pun nama dan bentuknya). Tidak juga para sahabat, para ulama kita seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Nawawi, dsb, yang merayakan hari ulang tahun. Dan rata-rata usia mereka pendek atau standar saja. Namun lihatlah, keberkahan usia mereka. Hingga hari ini ilmu mereka tetap kita ambil. Seluruh kaum muslimin di seantero dunia mengambil manfaat dari ilmu para ulama kita ini. Artinya pahala mengalir & mengalir terus kepada mereka walau mereka sudah wafat.


Pada postingan kali ini saya akan menyampaikan bagaimana Hukum Merayakan Hari Ulang Tahun, mungkin masih banyak diantara kita yang masih merayakan perayaan ulang tahun. Padahal umur bukan untuk dirayakan. Justru kita akan dimintai pertanggungjawaban atas umur kita itu sendiri, digunakan untuk apa. Percuma umur panjang kalau di atas kemaksiatan misalnya. Karenanya, panjang-pendeknya umur bukan patokan.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”

Pembahasan boleh tidaknya masalah ulang tahun seseorang atau organisasi memang tidak disinggung secara langsung dalam dalil-dalil syar‘i. Tidak ada ayat Al-Quran atau hadits Nabawi yang memerintahkan kita untuk merayakan ulang tahun, sebagaimana sebaliknya, juga tidak pernah ada larangan yang bersifat langsung untuk melarangnya.

Sehingga umumnya masalah ini merupakan hasil ijtihad yang sangat erat kaitannya dengan kondisi yang ada pada suatu tempat dan waktu. Artinya, bisa saja para ulama untuk suatu masa dan wilayah tertentu memandang bahwa bentuk perayaan ini lebih banyak mudharat dari manfaatnya. Namun sebalik, bisa saja pendapat ulama lainnya tidak demikian, bahkan mungkin ada hal-hal positif yang bisa diambil dengan meminimalisir dapak negatifnya.

Mengapa demikian? Karena memang tidak didapat nash yang secara sharih melarang atau membolehkannya. Tidak terdapat dalam sunnah apalagi dalam Al-Quran. Sehingga dalam satu majelis yang di dalamnya duduk para ulama, perbedaan sudut pandang pun bisa saja terjadi, tergantung dari sudut pandang mana seorang melihatnya.

Perayaan hari kelahiran (maulid) termasuk amalan yang tidak dituntunkan dalam Islam sehingga tak perlu diamalkan. Adapun memakan makanan saat acara tersebut tidaklah dibolehkan. Namun ada yang menganggap bahwa memakan makanan tersebut tak masalah karena tujuannya adalah untuk memuliakan tamu dan semuanya tergantung niat.

Akan tetapi yang lebih tepat, maksud menyajikan makanan ketika itu adalah untuk memperingati acara yang tidak ada tuntunannya. Sedangkan makan makanan yang ada pada acara tersebut termasuk dalam tolong menolong dalam dosa dan melampaui batas. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2)

Pendapat yang Mengharamkan
Sebagian ulama yang berfatwa mengharamkan perayaan ulang tahun, berijtihad dari dalil-dalil yang bersifat umum. Misalnya, dalil-dalil yang melarang umat Islam meniru-niru perbuatan orang-orang kafir. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

من تشبه بقوم فهو منهم

Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka termasuk mereka (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Kiranya para ulama itu memandang bahwa perayaan ulang tahun itu identik dengan perilaku orang-orang kafir. Sehingga mereka mengharamkan umat Islam untuk merayakannya secara ikut-ikutan.

Selain itu, oleh sebagian ulama, seringkali acara ulang tahun disertai dengan banyak kemaksiatan. Seperti minuman keras, pesta musik, joget, dansa, campur baur laki-laki dan wanita. Bahkan banyak yang sampai meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya. Seringkali juga pesta-pesta itu sampai melupakan niat utama, tergantikan dengan semangat ingin pamer dan menonjolkan kekayaan. Sehingga menimbulkan sifat riya’ dan sum’ah pada penyelenggaranya.

Yang Cenderung Membolehkan
Adapun sebagian lainnya dari para ulama, mereka cenderung membolehkan ulang tahun. Dengan landasan dasar bahwa ulang tahun bukanlah ibadah ritual. Sehingga selama tidak ada larangannya yang secara langsung disebutkan di dalam nash Quran atau sunnah, hukum asalnya adalah boleh. Sesuai dengan kaidah “al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibahah.” Bahwa kaidah dasar dari masalah muamalah adalah kebolehan, selama tidak ada nash yang secara tegas melarangnya.

Adapun alasan peniruan orang kafir, dijawab dengan argumen bahwa tidak semua yang dilakukan oleh orang kafir haram dikerjakan. Hanya yang terkait dengan peribadatan saja yang haram, adapun yang terkait dengan muamalah, selama tidak ada nash yang langsung melarangnya, hukumnya tidak apa-apa bila kebetulan terjadi kesamaan.

Misalnya, kebiasaan pesta pasca panen di suatu negeri yang masih kafir. Apakah bila ada kebiasaan yang sama di suatu negeri muslim, dianggap sebagai bentuk peniruan? Tentu tidak, sebab hal itu dipandang sebagai ‘urf yang lazim, tidak ada kaitannya dengan wilayah kekufuran atau kebatilan.

Para ulama dari kelompok ini cenderung menetapkan ‘illat haramnya peniruan pada orang kafir berdasarkan titik keharamannya. Bukan semata-mata dilakukan oleh mereka. Misalnya, kebiasaan orang kafir memberikan sesaji kepada gunung yang mau meletus, maka hukumnya haram bagi muslimin untuk melakukannya.

Adapun bila ada nash secara langsung dari Rasulullah SAW untuk tidak meniru suatu perbuatan tertentu, maka wajib bagi tiap muslim untuk mengikuti perintah beliau. Misalnya, larangan Rasulullah SAW bagi umat Islam untuk mencukur jenggot dan memelihara kumis, sebab dianggap menyerupai orang kafir. Maka larangan itu tetap berlaku, meski pun orang kafir sendiri telah merubah kebiasaannya.

Beberapa Pertimbangan
Bila kita ingin meletakkan hukum merayakan ulang tahun, kita harus membahas dari tujuan dan manfaat yang akan didapat. Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang? Atau sekedar ikut-ikutan tradisi?

Yang kedua, apa manfaat acara seperti itu? Adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu dan amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau lainnya?

Yang ketiga, adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa yang dilanggar?

Yang keempat, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjdi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini harus dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringat hari besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya.

Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah sesuatu yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan makna? Wallahu a‘lam bis-shawab. 

Related Posts

0 Response to "Hukum Merayakan Hari Ulang Tahun"

Posting Komentar