Siapapun yang dalam keadaan berhadats maka ia wajib berwudhu agar sholatnya dapat diterima, sekalipun ia telah berwudhu jika masih dalam kondisi bernajis maka ia pun harus mengulangnya kembali. Wudhu seorang muslim batal disebabkan perkara berikut ini:
1. Apa saja yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) berupa buang air besar, buang air kecil, Kentut, wadi dan madzi, dll.
1. Apa saja yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) berupa buang air besar, buang air kecil, Kentut, wadi dan madzi, dll.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat seorang di antara kamu yang berhadas sampai ia berwudhu (sebelumnya).” Maka, seorang sahabat dari negeri Hadramaut bertanya. “Apa yang dimaksud hadas itu wahai Abu Hurairah?” Jawabnya, “Kentut lirih maupun kentut keras.” (Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari I: 234, Baihaqi I:117, Fathur Robbani, Ahmad II:75 no:352) Dan hadits ini menurut sebagian mukharrij selain yang disebut di atas tidak ada tambahan (tentang pernyataan orang dari Hadramaut itu), Muslim I:204 no:225, ‘Aunul Ma’bud I:87 no:60, dan Tirmidzi I: 150 no:76.
“Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Mani, wadi dan madzi (termasuk hadas). Adapun mani, cara bersuci darinya harus dengan mandi besar. Adapun madi dan madzi,” maka dia berkata, “cucilah dzakarmu, kemaluanmu, kemudian berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat!” (Shahih: Shahih Abu Daud no:190, dan Baihaqi I:115).
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
2. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
3. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Sekalipun ia tidak keluar mani.” Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
4. Memegang kemaluan tanpa alas karena dorongan syahwat
Berdasarkan sabda Nabi saw.,“Barangsiapa yang memegang kemaluannya, maka hendaklah berwudhu.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:388, ‘Aunul Ma’bud I:507 no:179, Ibnu Majah I:163 no:483, ‘Aunul Ma’bud I:312 no:180 Nasa’i I:101, Tirmidzi I:56 no:56 no:85).
Berdasarkan sabda Nabi saw.,“Barangsiapa yang memegang kemaluannya, maka hendaklah berwudhu.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:388, ‘Aunul Ma’bud I:507 no:179, Ibnu Majah I:163 no:483, ‘Aunul Ma’bud I:312 no:180 Nasa’i I:101, Tirmidzi I:56 no:56 no:85).
Betul, ia memang bagian dari anggota badanmu, bila sentuhan tidak diiringi dengan gejolak syahwat, karena sentuhan model seperti ini sangat memungkinkan disamakan dengan menyentuh anggota badan yang lain. Ini jelas berbeda jauh dengan menyentuh kemaluan karena termotivasi oleh gejolak syahwat. Sentuhan seperti ini sama sekali tidak bisa diserupakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain karena menyentuh anggota badan yang tidak didorong oleh syahwat dan ini adalah sesuatu yang amat sangat jelas, sebagaimana yang pembaca lihat sendiri (Tamamul Minnah hal:103).
5. Makan daging unta
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bara’ bin ‘Azib ra ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta, namun jangan berwudhu disebabkan (makan) daging kambing!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:401, Ibnu Majah I:166 no:494, Tirmidzi I:54 no:81, ‘Aunul Ma’bud I:315 no:182).
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bara’ bin ‘Azib ra ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta, namun jangan berwudhu disebabkan (makan) daging kambing!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:401, Ibnu Majah I:166 no:494, Tirmidzi I:54 no:81, ‘Aunul Ma’bud I:315 no:182).
Dari Jabir bin Samurah r.a. bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw. apakah saya harus berwudhu (lagi) disebabkan (makan) daging kambing? Jawab Beliau, “Jika dirimu mau, silakan berwudhu; jika tidak jangan berwudhu (lagi).” Dia bertanya (lagi) “Apakah saya harus berwudhu (lagi) disebabkan (makan) daging unta?” Jawab Beliau, “Ya berwudhulah karena (selesai makan) daging unta!” (Shahih Mukhtashar Muslim no:146 dan Muslim I:275 no:360).
6. Tidur pulas sampai tidak tersisa sedikitpun kesadarannya
Berdasarkan hadits Shafwan bin Assal, ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. pernah menyuruh kami, apabila kami melakukan safar agar tidak melepaskan khuf kami (selama) tiga hari tiga malam, kecuali karena janabat, akan tetapi (kalau) karena buang air besar atau kecil ataupun karena tidur (pulas maka cukup berwudhu).” (Hasan: Shahih Nasa’i no:123 Nasa’i I:84 dan Tirmidzi I:65 no:69).
Pada hadits ini Nabi saw. menyamakan antara tidur nyenyak dengan kencing dan berak (sebagai pembatal wudhu). “Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mata adalah pengawas dubur-dubur; maka barangsiapa yang tidur (nyenyak), hendaklah berwudhu.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:386. Ibnu Majah I:161 no:477 dan ‘Aunul Ma’bud I:347 no:200 dengan redaksi sedikit berlainan).
Adapun tidur yang ringan yang tidak menghilangkan seluruh kesadaran manusia, maka hal ini tidak membatalkan wudhu.
7. Hilangnya kesadaran akal karena mabuk atau sakit.
Karena kacaunya pikiran disebabkan dua hal ini jauh lebih berat daripada hilangnya kesadaran karena tidur nyenyak.
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu seseorang yang telah batal tidak dapat melakukan shalat sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali, Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama seperti 7 point di atas karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut.
Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Adapun tidur yang ringan yang tidak menghilangkan seluruh kesadaran manusia, maka hal ini tidak membatalkan wudhu.
7. Hilangnya kesadaran akal karena mabuk atau sakit.
Karena kacaunya pikiran disebabkan dua hal ini jauh lebih berat daripada hilangnya kesadaran karena tidur nyenyak.
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu seseorang yang telah batal tidak dapat melakukan shalat sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali, Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama seperti 7 point di atas karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut.
Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal wudhu yang diperselisihkan Oleh Para Ahlul Ilmi
Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan.
Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin saya berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Berikut saya ulas pembatal wudhu yang masih dipermasalahkan tersebut, meliputi :
1. Menyentuh wanita
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
“Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.
Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
“Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)
“Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
2. Muntah
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
– Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
– Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
- Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
- Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
- Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
- Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
0 Response to "Wajib Tahu!! Inilah Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu"
Posting Komentar