Kecenderungan manusia berperilaku
boros terhadap harta memang sudah ada di dalam dirinya. Ditambah lagi perilaku
boros adalah salah satu tipu daya setan terkutuk yang membuat harta yang kita
miliki tidak efektif mengangkat derajat kita. Harta yang dimiliki justru
efektif menjerumuskan, membelenggu, dan menjebak kita dalam kubangan tipu daya
harta karena kita salah dalam menyikapinya.
Hal ini dapat kita perhatikan dalam
hidup keseharian kita. Orang yang punya harta, kecenderungan untuk menjadi
pecinta harta cenderung lebih besar. Makin bagus, makin mahal, makin senang,
maka makin cintalah ia kepada harta yang dimilikinya. Lebih dari itu, maka
ingin pulalah ia untuk memamerkannya. Terkadang apa saja ingin dipamer-pamerkan.
Ada yang pamer kendaraan, pamer rumah, pamer mebel, pamer pakaian, dan
lain-lain. Sifat ini muncul karena salah satunya kita ini ingin tampil lebih
wah, lebih bermerek, atau lebih keren dari orang lain. Padahal, makin bermerek
barang yang dimiliki justru akan menyiksa diri.
Suatu pengalaman ketika seseorang
memberi sebuah ballpoint. Dari tampangnya ballpoint ini saya pikir sangat
bagus, mengkilat, dan ketika dipakai untuk menulis pun enak. Tapi tiba-tiba
ballpoint ini menjadi barang yang menyengsarakan ketika ada yang memberi tahu
bahwa ballpoint yang mereknya "MP" itu adalah sebuah merek terkenal
untuk ukuran sebuah benda bernama ballpoint. Mulanya tidak mengerti sama
sekali. Tadinya saya kira harganya paling cuma ribuan rupiah saja.
Nah, gara-gara tahu itu ballpoint
mahal, sikap pun jadi berubah. Tiba-tiba jadi takut hilang, ketika dibawa takut
jatuh, ketika dipinjam takut cepat habis tintanya karena tintanya pun mahal,
mau disimpan takut jadi mubazir, mau dikasihkan ke orang lain sayang, ditambah
lagi saat dipakai pun malu, mungkin nanti ada yang komentar "Wah, Aa
ballpoint-nya ballpoint mahal!". Begitulah, nasib punya barang bermerek,
tersiksa!
Sebaliknya, kalau kita terbiasa
dengan barang yang biasa-biasa, dapat dipastikan hidup pun akan lebih ringan.
Karenanya, hati-hatilah saudaraku. Apalagi dalam kondisi ekonomi bangsa kita
yang sedang terpuruk seperti saat ini. Kita harus benar-benar mengendalikan
penuh keinginan-keinginan kita jikalau ingin membeli suatu barang. Ingat, yang
paling penting adalah bertanya pada diri apa yang paling bermamfaat dari barang
yang kita beli tersebut. Buat pula skala prioritas, misalnya, haruskah membeli
sepatu seharga 1 juta rupiah padahal keperluan kita hanya sebentuk sepatu
olahraga. Apalagi dihadapan tersedia aneka pilihan harga, mulai dari yang 700
ribu, 400 ribu, 200 ribu, sampai yang 50 ribu rupiah.
Mereknya pun beragam, tinggal
dipilih mana kira-kira yang paling sesuai. Nah, kalau kita ada dalam posisi
seperti ini, maka carilah sepatu yang paling tidak membuat kita sombong ketika
memakainya, yang paling tidak menyikasa diri dalam merawatnya, dan yang paling
bisa bermamfaat sesuai tujuan utama dari pembelian sepatu tersebut.
Hati-hatilah, sebab yang biasa kita beli adalah mereknya, bukan awetnya, karena
kalau terlalu awet pun akan bosan pula memakainya. Jangan pula tergesa-gesa,
dan ketahuilah bahwa pemboros-pemboros itu adalah saudaranya setan.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman, "Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang
dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar
kepada Tuhan-Nya" (QS. Al Israa [17] : 26-27). Dalam ayat lain
Allah SWT berfirman, "Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan
tidak pula mereka kikir. Dan adalah pembelanjaan itu ditengah-tengah yang
demikian itu". (QS. Al Furqan [25] : 67)
Jelaslah kiranya bahwa sikap boros
lebih dekat kepada perilaku setan, naudzubillaah. Karenanya, budaya
bersahajalah salah satu budaya yang harus kita tanamkan kuat-kuat dalam diri.
Memilih hidup dengan budaya bersahaja bukan berarti tidak boleh membeli
barang-barang yang bagus, mahal, dan bermerek. Silahkan saja! Tapi ternyata
kalau kita berlaku boros, sama sekali tidak akan menjadi amal kebaikan bagi
kita. Saya kira hikmah dari krisis ekonomi yang menimpa bangsa kita, salah
satunya kita harus benar-benar mengendalikan keinginan kita. Tidak setiap
keinginan harus dipenuhi.
Karena jikalau kita ingin membeli
sesuatu karena ingin dan senang, ketahuilah bahwa keinginan itu cepat berubah.
Kalau kita membeli sesuatu karena suka, maka ketika melihat yang lebih bagus,
akan hilanglah selera kita pada barang yang awalnya lebih bagus tadi. Belilah
sesuatu hanya karena perlu dan mampu saja. Sekali lagi, hanya karena perlu!
Perlukah saya beli barang ini? Matikah saya kalau tidak ada barang ini? Kalau
tidak ada barang ini saya hancur tidak? Itulah yang harus selalu kita tanyakan
ketika akan membeli suatu barang. Kalau saja kita masih bisa bertahan dengan
barang lain yang lebih bersahaja, maka lebih bijak jika kita tidak melakukan
pembelian.
Misalnya, ketika tersirat ingin
membeli motor baru, tanyakan; perlukah kita membeli motor baru? Sudah wajibkah
kita membelinya? Nah, ketika alasan pertanyaan tadi sudah logis dan dapat
diterima akal sehat, maka kalau pun jadi membeli pilihlah yang skalanya paling
irit, paling hemat, dan paling mudah perawatannya. Jangan berpikir dulu tentang
keren atau mereknya.
Cobalah renungkan; mending keren
tapi menderita atau irit tapi lancar? Tahanlah keinginan untuk berlaku boros
dengan sekuat tenaga, yakinlah makin kita bisa mengendalikan keinginan kita,
Insya Allah kita akan makin terpelihara dari sikap boros. Sebaliknya, jika
tidak dapat kita kendalikan, maka pastilah kita akan disiksa oleh barang-barang
kita sendiri.
Kita akan disiksa oleh kendaraan
kita dan disiksa oleh harta kita yang kita miliki. Rugi, sangat rugi orang yang
memperturutkan hidupnya karena sesuatu yang dianggap keren atau bermerek.
Apalagi, keren menurut kita belum tentu keren menurut orang lain, bahkan
sebaliknya bisa jadi malah dicurigai. Karena ada pula orang yang ketika memakai
sesuatu yang bermerek, justru disangka barang temuan.
Seperti kisah santri di sebuah
pesantren. Saat ada santri yang memakai sepatu yang sangat bagus dengan merek
terkenal, justru disangka sepatu jamaah yang ketika berkunjung ke pesantren
tersebut tertinggal di mesjid. Lain waktu, ada juga yang memakai arloji sangat
bagus dengan merek terkenal buatan dari negeri Swiss sana, tapi orang lain
justru malah berprasangka kalau arloji itu barang temuan dari tempat wudhu.
Begitulah, bagi orang yang maqam-nya murah meriah, ketika memakai barang mahal
justru malah dicurigai.
Karenanya, biasakanlah untuk
senantiasa bersahaja dalam setiap yang kita lakukan. Dan mudah-mudahan dalam
kondisi ekonomi sulit seperti ini Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan
untuk menjadi orang yang terpelihara dari perbuatan sia-sia dan pemborosan.