Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
manusia yang paling sempurna akhlaknya. Tujuan diutusnya adalah sebagai contoh
yang paling baik untuk seluruh ummat.
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda
:
إِنَّمَا
بُعِثتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخلاَقِ
“Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Dishahihkan oleh
Al-Albani dalam As-shahihnya No.45).
Firman
Allah subhaanahu wata’ala di dalam Al Qur’an, bahwa pada diri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat suri tauladan
yang baik bagi segenap ummatnya.
Allah berfirman;
Allah berfirman;
لَقَد
كَانَ لَكُم فِي رَسُولِ اللِّهِ أُسوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَن كَانَ يَرجُو الله
واليَومَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia
banyak menyebut nama Allah.” (Al-Ahzab:21).
Al-Hafidz
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, ayat yang mulai ini adalah pokok yang agung
tentang meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
berbagai perkataan, perbuatan, dan perilakunya. Karena itu, Allah memerintahkan
manusia untuk meneladani kesabaran, keteguhan, kepahlawanan, dan perjuangan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menanti
pertolongan dari Rabbnya ketika perang Ahdzab. Semoga Allah senantiasa
mencurahkan shalawat kepada beliau hingga hari kiamat. (Tafsir Ibnu
Katsir{111/522-523}).
Rasulullah shallallau’alaihi
wasallam, juga sangat menganjurkan agar kaum muslimin memiliki akhlak
yang mulia, seperti sabdanya:
إِتَقِ
اللَّهَ حَيثُماَ كُنتَ وَأَتبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمحُهاَ وَخاَلِقِ
النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٌ
Artinya:
Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, ikutilah setiap kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, dan pergaulilah masyarakat dengan akhlak yang baik. (H.R. At-Tirmidzi, Hadits Arbain ke 18).
Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, ikutilah setiap kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, dan pergaulilah masyarakat dengan akhlak yang baik. (H.R. At-Tirmidzi, Hadits Arbain ke 18).
Suatu saat, adzan Maghrib tiba. Kami
bersegera shalat di sebuah mesjid yang dikenal dengan tempat mangkalnya aktivis
Islam yang mempunyai kesungguhan dalam beribadah. Di sana tampak beberapa pemuda
yang berpakaian “khas Islam” sedang menantikan waktu shalat. Kemudian, adzan
berkumandang dan qamat pun segera diperdengarkan sesudah shalat sunat. Hal yang
menarik adalah begitu sungguh-sungguhnya keinginan imam muda untuk merapikan
shaf. Tanda hitam di dahinya, bekas tanda sujud, membuat kami segan. Namun,
tatkala upaya merapikan shaf dikatakan dengan kata-kata yang agak ketus tanpa
senyuman, “Shaf, shaf, rapikan shafnya!”, suasana shalat tiba-tiba menjadi
tegang karena suara lantang dan keras itu. Karuan saja, pada waktu shalat
menjadi sulit khusyu, betapa pun bacan sang imam begitu bagus karena terbayang
teguran yang keras tadi.
Seusai shalat, beberapa jemaah
shalat tadi tidak kuasa menahan lisan untuk saling bertukar ketegangan yang
akhirnya disimpulkan, mereka enggan untuk shalat di tempat itu lagi. Pada saat
yang lain, sewaktu kami berjalan-jalan di Perth, sebuah negara bagian di
Australia, tibalah kami di sebuah taman. Sungguh mengherankan, karena hampir
setiap hari berjumpa dengan penduduk asli, mereka tersenyum dengan sangat ramah
dan menyapa “Good Morning!” atau sapa dengan tradisinya. Yang semuanya itu
dilakukan dengan wajah cerah dan kesopanan. Kami berupaya menjawab sebisanya
untuk menutupi kekagetan dan kekaguman. Ini negara yang sering kita sebut
negara kaum kafir.
Dua keadaan ini disampaikan tidak
untuk meremehkan siapapun tetapi untuk mengevaluasi kita, ternyata luasnya
ilmu, kekuatan ibadah, tingginya kedudukan, tidak ada artinya jikalau kita
kehilangan perilaku standar yang dicontohkan Rasulullah SAW, sehingga mudah
sekali merontokan kewibawaan dakwah itu sendiri.
Ada beberapa hal yang dapat kita
lakukan dengan berinteraksi dengan sesama ini, bagaimana kalau kita menyebutnya
dengan 5 (lima) S : Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.
Kita harus meneliti relung hati kita
jikalau kita tersenyum dengan wajah jernih kita rasanya ikut terimbas bahagia.
Kata-kata yang disampaikan dengan senyuman yang tulus, rasanya lebih enak
didengar daripada dengan wajah bengis dan ketus. Senyuman menambah manisnya
wajah walaupun berkulit sangat gelap dan tua keriput. Yang menjadi pertanyaan,
apakah kita termasuk orang yang senang tersenyum untuk orang lain? Mengapa kita
berat untuk tersenyum, bahkan dengan orang yang terdekat sekalipun. Padahal
Rasulullah yang mulia tidaklah berjumpa dengan orang lain kecuali dalam keadaan
wajah yang jernih dan senyum yang tulus. Mengapa kita begitu enggan tersenyum?
Kepada orang tua, guru, dan orang-orang yang berada di sekitar kita?
S yang kedua
adalah salam. Ketika orang mengucapkan salam kepada kita dengan keikhlasan,
rasanya suasana menjadi cair, tiba-tiba kita merasa bersaudara. Kita dengan
terburu-buru ingin menjawabnya, di situ ada nuansa tersendiri. Pertanyaannya,
mengapa kita begitu enggan untuk lebih dulu mengucapkan salam? Padahal tidak
ada resiko apapun. Kita tahu di zaman Rasulullah ada seorang sahabat yang pergi
ke pasar, khusus untuk menebarkan salam. Negara kita mayoritas umat Islam,
tetapi mengapa kita untuk mendahului mengucapkan salam begitu enggan? Adakah
yang salah dalam diri kita?
S ketiga adalah sapa.
Mari kita teliti diri kita kalau kita disapa dengan ramah oleh orang lain
rasanya suasana jadi akrab dan hangat. Tetapi kalau kita lihat di mesjid, meski
duduk seorang jamaah di sebelah kita, toh nyaris kita jarang menyapanya,
padahal sama-sama muslim, sama-sama shalat, satu shaf, bahkan berdampingan.
Mengapa kita enggan menyapa? Mengapa harus ketus dan keras? Tidakkah kita bisa
menyapa getaran kemuliaan yang hadir bersamaan dengan sapaan kita?
S keempat, sopan.
Kita selalu terpana dengan orang yang sopan ketika duduk, ketika lewat di depan
orang tua. Kita pun menghormatinya. Pertanyaannya, apakah kita termasuk orang
yang sopan ketika duduk, berbicara, dan berinteraksi dengan orang-orang yang
lebih tua? Sering kita tidak mengukur tingkat kesopanan kita, bahkan kita
sering mengorbankannya hanya karena pegal kaki, dengan bersolonjor misalnya.
Lalu, kita relakan orang yang di depan kita teremehkan. Patut kiranya kita
bertanya pada diri kita, apakah kita orang yang memiliki etika kesopanan atau
tidak.
S kelima, santun.
Kita pun berdecak kagum melihat orang yang mendahulukan kepentingan orang lain
di angkutan umum, di jalanan, atau sedang dalam antrean, demi kebaikan orang
lain. Memang orang mengalah memberikan haknya untuk kepentingan orang lain,
untuk kebaikan. Ini adalah sebuah pesan tersendiri. Pertanyaannya adalah,
sampai sejauh mana kesantunan yang kita miliki? Sejauh mana hak kita telah
dinikmati oleh orang lain dan untuk itu kita turut berbahagia? Sejauh mana
kelapangdadaan diri kita, sifat pemaaf ataupun kesungguhan kita untuk membalas
kebaikan orang yang kurang baik?
Saudara-saudaraku, Islam sudah
banyak disampaikan oleh aneka teori dan dalil. Begitu agung dan indah. Yang
dibutuhkan sekarang adalah, mana pribadi-pribadi yang indah dan agung itu? Yuk,
kita jadikan diri kita sebagai bukti keindahan Islam, walau secara sederhana.
Amboi, alangkah indahnya wajah yang jernih, ceria, senyum yang tulus dan
ikhlas, membahagiakan siapapun. Betapa nyamannya suasana saat salam hangat
ditebar, saling mendo’akan, menyapa dengan ramah, lembut, dan penuh perhatian.
Alangkah agungnya pribadi kita, jika penampilan kita selalu sopan dengan
siapapun dan dalam kondisi bagaimana pun. Betapa nikmatnya dipandang, jika
pribadi kita santun, mau mendahulukan orang lain, rela mengalah dan memberikan
haknya, lapang dada,, pemaaf yang tulus, dan ingin membalas keburukan dengan
kebaikan serta kemuliaan.
Saudaraku, Insya Allah. Andai diri
kita sudah berjuang untuk berperilaku lima S ini, semoga kita termasuk dalam
golongan mujahidin dan mujahidah yang akan mengobarkan kemuliaan Islam
sebagaimana dicita-citakan Rasulullah SAW, Innama buitsu liutammima makarimal
akhlak, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi ini untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak.