Apa yang akan Anda lakukan jika tempat tinggal Anda mengalami
bencana banjir? Apakah Anda akan naik ke lantai tertinggi dan menunggu tim
penyelamat, ataukah naik dari lantai ke lantai sejalan dengan naiknya air? Saat
Anda naik ke atap, apakah Anda akan menggunakan tangga ataukah elevator? Jelas
bahwa tindakan yang paling bijaksana pada kondisi seperti itu adalah memilih
alternatif yang akan menyelamatkan Anda, yakni alternatif yang memberikan hasil
tercepat. Alternatif lainnya tak perlu dilihat lagi. Dalam situasi ini, yang
terbaik adalah naik ke lantai teratas dengan menggunakan elevator. Demikian lah
cara “memilih jalan terbaik”. Seperti dalam Hadith Qudsi:
قَالَ اللهُ : مَنْ لَمْ يَرْضَى بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ بِنِعْمَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ بِبَلاَئِيْ فَلْيَخْرُجْ تَحْتَ سَمَائِيْ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak
ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak
bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala
cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan
sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.
Ridho itu artinya rela, mencari Ridho Allah artinya mencari
apa yang membuat Allah rela pada kita. Maka seorang yang memiliki prinsip hidup
mencari ridho Allah adalah mereka yang menuhankan Allah sekaligus memiliki
prinsip Lailahaillallah. Dan siapa yang memiliki filosofi Lailahaillallah dan
mengucapkan dengan ikhlas (mengerti dari dalam hati) Maka pasti ia akan masuk
Syurga dan siapa diakhir kalamnya mengucapkan kalimat Lailahaillallah pasti
masuk syurga (Sabda Nabi Muhammad).
Tapi yang dimaksud mencari Ridho Allah itu tidak hanya sholat
dan ibadah dengan tekun dimasjid. Tidak hanya berzikir atau mengaji, namun
memiliki makna yang sangat luas. Ini menyangkut filosofi hidup, menyangkut
ideologi. Konskwensinya sangat luas, seorang yang mencari Ridho Allah
maka ia akan mengikuti apa yang diinginkan Allah, Ia akan banyak berbuat baik,
berhati lembut, tidak suka menyakiti perasaan saudara, menjaga keamanan
sosial, banyak berkorban untuk manusia dan titik akhirnya adalah
memanifestasikan kehendak Allah. Sikap-sikap baik yang membiaskan rahmat bagi
semesta alam inilah yang menjadi ukurannya.
Kata ridha juga berasal dari bahasa Arab yang makna harfiahnya
mengandung pengertian senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta
menyetujui secara penuh, sedang lawan katanya adalah benci atau tidak senang.
Kata ridha ini lazim dihubungkan dengan eksistensi Tuhan dan manusia, seperti
Allah ridha kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sedangkan
dengan manusia seperti seorang ibu ridha anaknya merantau untuk menuntut ilmu,
ridha erat kaitannya dengan sikap dan pemahaman manusia atas karunia dan nikmat
Allah.
Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang
masih berhubungan dengan sikap kepasrahan seseorang di hadapan kekasih-Nya.
Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah dengan menerima apa saja
yang telah dikehendaki oleh-Nya tanpa ada paksaan dalam menjalaninya. Dengan
kata lain, ridha lebih memfokuskan perhatian yang ditujukan kepada upaya
mengembangkan emosi ridha dalam hati calon sufi kepada Tuhan. Maka janganlah
kita berharap memperoleh ridha Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh
dengan subur emosi ridha kepada-Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada
tidaknya, atau besar kecilnya ridha Tuhan pada seseorang tergantung pada ada
tidaknya atau besar kecilnya ridha hatinya kepada Tuhan.
Kaum yang beriman menggunakan semua sarana material dan
spiritual pada setiap jam, bahkan setiap detik kehidupannya sesuai dengan
kehendak Allah. Jika harus memilih di antara beberapa alternatif, dia
memilihnya dengan arif dan mendengarkan hati nuraninya. Dan pilihan yang
diambilnya ditujukan untuk mengharap ridha Allah. Dengan cara ini, ia bertindak
sesuai dengan ridha Allah pada tingkatan yang tertinggi.
Keutamaan Ridha Kepada Allah, Islam dan RasulNya
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa
dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ
دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha
kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad
sebagai rasulnya”
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha
kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan
pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang. Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika
menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki
selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta
tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang
dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi
bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan
masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman
tersebut (secara nyata)”.
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Arti “ridha kepada sesuatu” adalah merasa cukup dan puas dengannya, serta tidak menginginkan selainnya”.
- Arti “merasakan kelezatan/kemanisan iman” adalah merasakan kenikmatan ketika mengerjakan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, bersabar dalam menghadapi kesulitan dalam (mencari) ridha Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengutamakan semua itu di atas balasan duniawi, disertai dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan (segala) perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Makna “ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan dicegah-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha kepada-Nya sebagai Rabb secara utuh dan sepenuhnya.
- Makna “ridha kepada Islam sebagai agama” adalah merasa cukup dengan mengamalkan syariat Islam dan tidak akan berpaling kapada selain Islam. Demikian pula “ridha kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul” artinya hanya mencukupkan diri dengan mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, serta tidak menginginkan selain petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ridha = Bahagia
Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT – dengan
keadilan dan ilmuNya – menjadikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada yang yakin dan
ridha; serta menjadikan kesusahan dan kesedihan pada kegalauan, kekesalan, dan
kemurkaan.”
Dalam beragam studi tentang kebahagiaan dilakukan penelitian
untuk menguji dampak kepemilikan (possession) dan pengalaman (experience)
terhadap seseorang. Hasilnya lagi-lagi menegaskan kebijakan pengetahuan agama
dan spiritual. Kepemilikan terhadap sesuatu ternyata hanya memberi sensasi
kebahagiaan sesaat. Oleh karena itu kenapa orang terkena penyakit shopaholics
(gila belanja) karena ingin terus merasakan kegembiraan sesaat yang hilang
setelah belanja. Berbeda dengan “pengalaman” yang memberikan dampak lebih
permanen terhadap kebahagiaan seseorang. Beragam riset membuktikan bahwa
merajut pengalaman penuh makna dalam keseharian adalah salah satu melentingkan
kebahagiaan seseorang. Pengalaman yang bermakna ini bisa meliputi segala hal
yang terjadi dalam hidupnya dan disikapi dengan penuh ridha.
Hal inilah yang pernah dilakukan oleh sahabat Shuhaib bin
Sinan ketika melakukan hijrah, meninggalkan semua hartanya dengan niat penuh
ikhlas untuk mencapai keridhaan Allah. Hatinya pun ridha terhadap apa yang
sedang dan akan terjadi pada dirinya. Sebagian tafsir mengenai ayat yang
disebut di awal tulisan, menyebut tindakan yang dilakukan oleh Shuhaib ini
adalah bentuk pengorbanan diri semata-mata karena berharap ridha Allah.
Pengalaman semacam inilah yang mengundang kebahagiaan lebih permanen dalam
kehidupan seseorang. Dengan ridha, hilanglah segala ketidaksenangan dari
hatinya, sehingga yang tersisa hanyalah kegembiraan dan kesenangan dalam
hatinya.
0 Response to "Apa Maksud Mencari Ridho Allah?"
Posting Komentar