Tampil dalam
berbagai seminar dari perguruan tinggi satu ke perguruan tinggi lain, dialog
jarak jauh, dan bahkan narasumber di Universitas Ciputra Entrepreneurs Center
(UCEC), Ciputra tak hendak cari uang.
“Ini masanya
untuk beramal, menularkan gagasan. Tak ada kata lelah untuk beramal, berbuat
untuk kepentingan bangsa. Bagaimana mengubah masa depan bangsa dan masa depan
anak bangsa, menjadi semakin lebih baik,” ujarnya.
Beramal dengan
gagasan, dengan waktu, dan dengan uang, diyakini Ciputra membuat dia
mendapatkan lebih banyak dari apa yang dia berikan. Setidak-tidaknya karunia
kesehatan dan kesempatan menularkan pengalaman dan gagasan.
“Sudah sejak
tiga tahun lalu, saya selain mendidik calon-calon entrepreneurs dan menyiapkan
para pendidik/pelatih entrepreneurs, juga minta waktu sejumlah menteri agar
turut mendorong dan memasukkan gerakan entrepreneur dalam program-programnya,”
ungkap Ciputra.
Menurut Ciputra,
pentingnya entrepreneurship tak sebatas mengatasi pengangguran dan kemiskinan,
tapi juga mengatasi ketidakadilan. Karena itu, Ciputra menganggap harus ada
gerakan nasional bersama.
Dari 2.850
perguruan tinggi, sudah terbentuk 315 Entrepreneurs Centre. Dan menandai 100
hari program kerja kabinet, digelar seminar nasional dan sekaligus peresmian
Entrepreneur Centre.
Ciputra,
mengatakan, ia bersyukur Kongres Ke-61 FIABCI (Federasi Real Estat
Internasional) dapat diselenggarakan di Indonesia. Ini merupakan kali kedua
Indonesia menjadi tuan rumah Kongres FIABCI. Sebelumnya, Indonesia pernah
menjadi tuan rumah pada tahun 1983 ketika Ciputra menjadi Ketua REI dan
Presiden FIABCI Indonesia.
Menurut Ciputra,
sebetulnya Indonesia sudah dijadwalkan menjadi tuan rumah FIABCI pada tahun
1998. Namun, pada tahun itu Jakarta dilanda kerusuhan Mei dan nama Indonesia
agak tercemar karena sebagian peserta sudah mendaftar dan membayar tetapi
kongres dibatalkan begitu saja.
“Namun,
sekarang, setelah 12 tahun berlalu, kami melakukan usaha yang keras untuk
merehabilitasi nama Indonesia di mata anggota FIABCI. Kami membayar uang
120.000 dollar AS untuk memberi ganti rugi kepada FIABCI agar Indonesia dapat
menggelar kembali kongres dunia di Indonesia.
Anggota REI
membayar ini secara gotong royong,” cerita Ciputra, yang merupakan orang
Indonesia pertama dan orang Asia ketiga yang menjadi Presiden FIABCI dunia pada
tahun 1987.
Menurut tokoh
properti Indonesia ini, sebenarnya Indonesia tidak perlu membayar uang itu
karena FIABCI sudah menghapus pembukuan 12 tahun lalu. Namun dalam hati, mereka
masih membicarakan Indonesia yang membatalkan kongres begitu saja pada Mei
1998.
“Karena itulah saya memelopori agar Indonesia
membayar ganti rugi kepada FIABCI sehingga Indonesia dapat kembali menjadi tuan
rumah Kongres FIABCI. Kali ini diadakan di Nusa Dua, Bali,” ungkap Ciputra.
Menurut pendiri
REI ini, Indonesia layak bersyukur karena seharusnya Indonesia menjadi tuan
rumah 40 tahun lagi. Namun, Indonesia sebagai bangsa dihargai dunia
internasional. Apalagi, saat ini pertumbuhan ekonomi kita tumbuh dengan baik.
“Dan saya bangga
melihat generasi muda yang meneruskan organisasi Real Estat Indonesia (REI).
REI adalah organisasi profesi paling baik di Indonesia.
Kader-kader REI,
Ferry Soeneville, Siswono Yudo Husodo, dan Mohammad S Hidayat, mendapat posisi
penting dalam swasta dan pemerintahan,” kata Ciputra dengan bangga.
REI, kata
Ciputra, adalah tuan rumah di negeri sendiri. Jumlah anggota REI saat ini
sekitar 2.000. Anggota REI aktif di dunia internasional dan asosiasi
internasional. “Kami belajar banyak dari FIABCI bagaimana menangani bisnis
properti. Kami belajar soal broker dan manajemen properti.
Dan Indonesia
begitu kuat. Dalam Kongres FIABCI di Bali, peserta dari Indonesia berjumlah 600
orang dan peserta luar negeri sekitar 400. Ini sudah kami anggap sukses,” kata
Ciputra berseri-seri.
Ciputra adalah
orang Indonesia pertama dan orang Asia ketiga yang menjadi Presiden FIABCI
dunia pada tahun 1987. Pengaruh Ciputra dalam Federasi Real Estat Internasional
hingga kini masih sangat kuat.
“Saya berharap
Kongres FIABCI memberi dampak yang baik bagi tuan rumah, Bali, dan juga bagi
peserta kongres. Kami ingin orang asing tahu keramahtamahan orang Indonesia,
khususnya masyarakat Bali,” ungkapnya.
Ketika mula
didirikan, PT Pembangunan Jaya cuma dikelola oleh lima orang. Kantornya
menumpang di sebuah kamar kerja Pemda DKI Jakarta Raya. Kini, 20-an tahun
kemudian, Pembangunan Jaya Group memiliki sedikitnya 20 anak perusahaan dengan
14.000 karyawan. Namun, Ir.
Ciputra, sang
pendiri, belum merasa sukses. ”Kalau sudah merasa berhasil, biasanya
kreativitas akan mandek,” kata Dirut PT Pembangunan Jaya itu.
Ciputra memang
hampir tidak pernah mandek. Untuk melengkapi 11 unit fasilitas hiburan Taman
Impian Jaya Ancol (TIJA), Jakarta — proyek usaha Jaya Group yang cukup
menguntungkan — telah dibangun ”Taman Impian Dunia”.
Di dalamnya
termasuk ”Dunia Fantasi”, ”Dunia Dongeng”, ”Dunia Sejarah”, ”Dunia
Petualangan”, dan ”Dunia Harapan”. Sekitar 137 ha areal TIJA yang tersedia,
karenanya, dinilai tidak memadai lagi. Sehingga, melalui pengurukan laut
(reklamasi) diharapkan dapat memperpanjang garis pantai Ancol dari 3,5 km
menjadi 10,5 km.
Masa kanak
Ciputra sendiri cukup sengsara. Lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi,
Sulawesi Tengah, ia anak bungsu dari tiga bersaudara. Dari usia enam sampai
delapan tahun, Ci diasuh oleh tante-tantenya yang ”bengis”.
Ia selalu
kebagian pekerjaan yang berat atau menjijikkan, misalnya membersihkan tempat
ludah. Tetapi, tiba menikmati es gundul (hancuran es diberi sirop),
tante-tantenyalah yang lebih dahulu mengecap rasa manisnya.
Belakangan, ia
menilainya sebagai hikmah tersembunyi. ”Justru karena asuhan yang keras itu,
jiwa dan pribadi saya seperti digembleng,” kata Ciputra.
Pada usia 12
tahun, Ciputra menjadi yatim. Oleh tentara pendudukan Jepang, ayahnya, Tjie
Siem Poe, dituduh anti-Jepang, ditangkap, dan meninggal dalam penjara.
”Lambaian tangan Ayah masih terbayang di
pelupuk mata, dan jerit Ibu tetap terngiang di telinga,” tuturnya sendu. Sejak
itu, ibunyalah yang mengasuhnya penuh kasih. Sejak itu pula Ci harus bangun
pagi- pagi untuk mengurus sapi piaraan, sebelum berangkat ke sekolah — dengan
berjalan kaki sejauh 7 km. Mereka hidup dari penjualan kue ibunya.
Atas jerih payah
ibunya, Ciputra berhasil masuk ke ITB dan memilih Jurusan Arsitektur. Pada
tingkat IV, ia, bersama dua temannya, mendirikan usaha konsultan arsitektur
bangunan — berkantor di sebuah garasi.
Saat itu, ia
sudah menikahi Dian Sumeler, yang dikenalnya ketika masih sekolah SMA di Manado.
Setelah Ciputra meraih gelar insinyur, 1960, mereka pindah ke Jakarta, tepatnya
di Kebayoran Baru. ”Kami belum punya rumah.
Kami
berpindah-pindah dari losmen ke losmen,” tutur Nyonya Dian, ibu empat anak.
Tetapi dari sinilah awal sukses Ciputra.
Pada tahun 1997
terjadilah krisis ekonomi. Krisis tersebut menimpa tiga group yang dipimpin
Ciputra: Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group. Namun dengan
prinsip hidup yang kuat Ciputra mampu melewati masa itu dengan baik.
Ciputra selalu
berprinsip bahwa jika kita bekerja keras dan berbuat dengan benar, Tuhan pasti
buka jalan. Dan banyak mukjizat terjadi, seperti adanya kebijakan moneter dari
pemerintah, diskon bunga dari beberapa bank sehingga ia mendapat kesempatan
untuk merestrukturisasi utang-utangnya.
Akhirnya ketiga
group tersebut dapat bangkit kembali dan kini Group Ciputra telah mampu
melakukan ekspansi usaha di dalam dan ke luar negeri.
Ciputra telah
sukses melampaui semua orde; orde lama, orde baru, maupun orde reformasi. Dia
sukses membawa perusahaan daerah maju, membawa perusahaan sesama koleganya
maju, dan akhirnya juga membawa perusahaan keluarganya sendiri maju.
Dia sukses
menjadi contoh kehidupan sebagai seorang manusia. Memang, dia tidak menjadi
konglomerat nomor satu atau nomor dua di Indonesia, tapi dia adalah yang
TERBAIK di bidangnya: realestate.
Pada usianya
yang ke-75, ketika akhirnya dia harus memikirkan pengabdian masyarakat apa yang
akan ia kembangkan, dia memilih bidang pendidikan.
Kemudian
didirikanlah sekolah dan universitas Ciputra. Bukan sekolah biasa. Sekolah ini
menitikberatkan pada enterpreneurship. Dengan sekolah kewirausahaan ini Ciputra
ingin menyiapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa pengusaha.
Pengusaha
propertiIr Ciputra, optimistis persoalan pengangguran dan kemiskinan di Tanah
Air bisa diatasi, salah satunya dengan memperbanyak entrepreneur.
Strategi
tersebut terbukti berhasil mengatasi krisis pengangguran yang terjadi di
Amerika Serikat pada tahun 1965-1985. “Tahun 1965-1985 tercipta lapangan kerja
terbesar yang tidak pernah terjadi dalam sejarah AS.
Itu terjadi
karena munculnya entrepreneur,” kata pengusaha yang banyak telah lama
berkecimpung di dunia properti tersebut usai menemui Menteri Negara Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil di kantor Kementerian, Jalan Medan Merdeka
Selatan, Jakarta.
Ciputra
berkisah, pascaperang dunia kedua, Amerika Serikat (AS) mengalami krisis
pengangguran sangat besar akibat gejala ledakan jumlah penduduk (baby boomer).
Melalui tangan
ahli Peter Draker dan pemerintah AS, sejumlah penduduk AS kala itu mendapat
pendidikan menjadi seorang entrepreneur. Hasilnya, selama dua dekade mulai
tahun 1965-1985, AS bisa membuka lapangan kerja yang cukup besar bahkan tidak
pernah terbayangkan sebelumnya.
“Pada masa
krisis sekarang ini, Peter Draker mengatakan krisis di AD akan segera berakhir
karena AS negara entrepreneur. Orang yang dipecat dari dunia keuangan akan
menjadi entrepreneur dan menciptakan perusahaan sehingga ada lapangan kerja
baru,” kata Ciputra.
Kembali pada
persoalan di Indonesia, pria yang mulai merambah dunia pendidikan dengan
mendirikan Universias Ciputra tersebut menilai, sebagai negara yang
ketinggalan, entrepreneur adalah salah satu cara yang paling unggul untuk
mengatasi pengangguran dan kemiskinan.