Lumrah di negeri
Indonesia bahwa idul fitri dipahami sebagai “hari kemenangan”. Hal ini
dikarenakan masyarakat kita menyebutnya sebagai “idul fitrah”, dan diartikan
sebagai “kembali ke fitrah”. Fitrah atau suci, yaitu ketika manusia bersih dari
segala dosanya karena telah melaksanakan puasa Ramadan sebulan sebelumnya.
Sudah banyak artikel
yang membahas mengenai makna idul fitri. Secara bahasa “iedul fithr” memiliki
arti “hari raya makan” atau “hari raya berbuka”. Disebut demikian karena pada
hari tersebut umat Islam tidak lagi berpuasa karena Ramadan telah selesai,
malah diharamkan untuk berpuasa.
Idul Fitri menjadi hari
kemenangan bagi semua umat muslim yang ada di dunia ini. Makna dari idul fitri
yang sangat berarti karena untuk menuju ke kemenangan Idul Fitri harus melewati
bulan suci puasa yang sudah di wajibkan seluruh umat muslim menjalankannya.
Idul Fitri yang di laksanakan setiap satu tahun sekali menjadi hal yang sangat
dinanti-nanti. Hari raya Idul Fitri ini dimana saatnya untuk kita semua saling
memanfaatkan dengan segala sesuatu yang pernah diperbuat dengan sengaja atau
tidak sengaja. Berkumpul dengan keluarga tercinta menjadi moment yang sangat
bahagia.
Sebenarnya arti dari
Idul Fitri adalah dimana hari kemenangan yang dari bulan puasa yang sedang kita
jalani. Hari besar Idul Firtri harus menjadi hari yang dimana seluruh umat
islam sebagai hari suka cita. Untuk itu hari kemenangan ini bisa berarti cukup
baik apabila kita bisa berbagai zakat kepada orang yang kurang mampu. Ini
sebagai hal yang akan lebih bermakna kalau kita bisa berbagi dengan orang yang
sedang memerlukan bantuan. Idul Fitri yang di mana ini sebagai pembukaan puasa
dan makan yang di mana ini sudah selesai puasa kita.
Untuk itu maka semua
umat islam sangat menanti hal tersebut dan untuk Takbiran banyak yang
merayakannya dengan berkeliling kota dan ini sudah menjadi tradisi yang terus
berjalan sampai sekarang ini. Puncak kebahagiaan pastinya terpancar pada saat
Idul Fitri. Idul Fitri yang terpenting harus melakukan silaturahmi kepada
saudara dan jangan lupa untuk melakukan sujud syukur dan minta maaf kepada
orang yang lebih tua. Moment ini pastinya akan tetap terjadi di hari raya Idul
Fitri.
Hari ini dirayakan tepat
setelah umat Islam selesai berpuasa Ramadan. Bagi para sahabat dan ulama
salafus shalih, akhir Ramadan merupakan momen yang sangat menyedihkan dan penuh
air mata. Satu bulan yang sangat mulia, yang di dalamnya penuh dengan keberkahan,
tak terasa telah usai dan pergi setidaknya selama satu tahun. Itu pun jika umur
masih mencapainya.
Walaupun kepergian
Ramadan penuh dengan nuansa kesedihan, namun merayakan hari raya adalah
kewajiban. Adalah hal yang sangat umum terjadi di berbagai negara idul fitri
dirayakan dengan meriah. Sebagaimana sebuah perayaan, tentu kita harus
menghindari sikap berlebih-lebihan. Dikhawatirkan terlalu terbuai dalam
perayaan malah menghilangkan esensi dari idul fitri itu sendiri.
Menghayati Kembali Tujuan Satu Bulan Berpuasa
Tapi jika memang
masyarakat kita lebih suka mengartikannya sebagai “hari kemenangan”,
maka kita mesti merenungi apa maksud dari kemenangan.
“Menang” diartikan bahwa
kita mampu menahan diri selama sebulan. Mengendalikan diri agar tidak melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa walau hukum asal dari hal-hal tersebut adalah
boleh. Ya, merayakan hari raya kemenangan karena kita berhasil “mengalahkan
diri sendiri” selama sebulan.
Jika mengerjakan yang
halal saja tidak boleh (yaitu makan, minum, dan berhubungan bagi suami istri),
apalagi yang haram? Karena itu mari kita ingat-ingat kembali selama sebulan
ini, adakah masih kita berbuat hal yang haram? Meskipun hal yang haram tersebut
secara hukum tidak membatalkan puasa (atau hal haram tersebut dilakukan di
waktu berbuka), apakah esensi dari berpuasa dan mengalahkan diri sendiri
tersebut sampai ke dalam hati kita?
Jika hal-hal seperti ini
masih kita lalaikan di bulan Ramadan, apakah pantas bagi kita untuk merayakan
hari kemenangan? Atau, jangan-jangan kita hanya ikut-ikutan saja untuk
memeriahkan hari raya tersebut?
Kita ingat-ingat kembali
juga, apa tujuan kita bersusah payah berpuasa selama sebulan? Kalau kita
memikirkannya murni pakai logika, maka berpuasa itu tidak masuk akal. Manusia
butuh kalori, butuh sumber energi untuk menjalankan aktivitas sehari-harinya.
Kondisi kekurangan energi atau hipoglikemi dalam waktu berjam-jam akan membuat
pekerjaan seseorang menjadi tidak efektif.
Mungkin itu lah yang ada
di dalam pikiran orang-orang tidak beriman yang memang tidak mengerti. Bahkan
seorang liberalis dengan angkuhnya bercuit “Mana bisa Allah mewajibkan puasa?
Padahal fitrah manusia itu kalau lapar ya makan, kalau haus ya minum.”
(naudzubillah).
Orang-orang yang
menjalani hidup murni hanya menggunakan logika tidak akan memahami makna iman.
Alasan utama umat Islam berpuasa ialah karena diperintahkan oleh Allah.
Disebutkan dalam Alquran secara jelas dan benderang. Namun, Allah memerintahkan
makhluk-Nya untuk berpuasa dengan suatu tujuan.
Apakah tujuan itu?
Ya, tujuan itu adalah
agar kita bertaqwa. Pertanyaannya, setelah berpuasa selama sebulan, sudahkah
kita menjadi insan yang bertaqwa?
Taqwa memiliki berbagai
pengertian. Suatu ketika Umar bin Khathab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab
tentang taqwa. Ubay berkata, “Apakah Anda pernah melewati jalan yang banyak
durinya?” “Pernah,” jawab Umar. Ubay bertanya kembali, “Bagaimana ketika Anda
melewatinya?” Umar menjawab, “Saya sungguh berhati-hati sekali supaya tidak
kena duri.” Ubay berkata, “Itulah arti taqwa yang sebenar-benarnya.”
Apakah setelah selesai
puasa Ramadan, kita menjadi semakin berhati-hati agar tidak berbuat dosa?
Seberapa mampu kita menjaga diri agar senantiasa memilih jalan yang selamat dan
tidak tertusuk duri maksiat?
Jika puasa tidak membuat
menjadi pribadi yang bertaqwa, apakah kita termasuk yang disebut dalam hadis
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan dari puasanya
tersebut kecuali lapar dan dahaga.” (HR. At Thabrani)? Astagfirullah…
Mari diingat-ingat
kembali tujuan kita berpuasa, lalu mengevaluasi diri. Jika dirasa belum, bahkan
terasa masih jauh, maka berusahalah. Berusaha dan
bermujahadah/bersungguh-sungguhlah sebelum nyawa mencapai tenggorokan.
Di akhir bulan Ramadan,
saatnya kita perbanyak istigfar, perbarui tobat. Entah usia kita masih ada
untuk Ramadan tahun depan atau tidak.
“Katakanlah, ‘Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”
(Az-Zumar: 53)
Pendidikan puasa selama
sebulan akan terlihat hasilnya di bulan-bulan berikutnya. Karena, semenjak
dikumandangkannya takbir pertanda masuk bulan syawal lah waktunya pembuktian.
Apakah dari puasa sebulan yang lalu ada perbaikan yang didapatkan, atau hanya
lapar dan haus; itu semua dibuktikan di bulan-bulan berikutnya.
Menggapai Keberkahan Idul Fitri dengan Melaksanakan Sunnah
Idul fitri adalah untuk
dirayakan. Tidak boleh ada yang berpuasa, dan seharusnya setiap umat muslim
bergembira. Tentu saja dirayakan dalam kadar yang wajar dan tidak berlebihan,
apalagi sampai melupakan kewajiban.
Agar kebahagiaan ini
bukan sekadar perayaan tapi juga bernilai ibadah, marilah laksanakan hal-hal
yang disunnahkan ketika hari raya. Sebaliknya, hal-hal yang mendekatkan diri
dari kelalaian mengingat Allah bahkan perbuatan dosa jangan sampai mengotori
kemeriahan hari raya umat Islam ini.
Takbir
Ibn Abi Syaibah
meriwayatkan bahwa Nabi saw. keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau
bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai solat selesai.
Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Takbir tidak harus di
masjid atau lapangan, tapi bisa dilakukan di mana saja. Disunnahkan bagi
laki-laki untuk mengeraskan suaranya ketika bertakbir. Zikir takbir dimulai
semenjak terbenam matahari (masuk bulah syawal) hingga shalat ied dilaksanakan.
Shalat idul fitri
Shalat idul fitri adalah
Sunnah muakkadah, bahkan ada ulama yang mewajibkannya. Karena itu, sangat
dianjurkan bagi kaum muslimin untuk shalat ied
“Rasulullah saw. dahulu
keluar di hari idul fitri dan idul adha ke mushalla, yang pertama kali beliau
lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia
sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasihati dan memberi
wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin
mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka
beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (HR. Bukhari)
Makan sebelum shalat
Disunnahkan untuk makan
terlebih dahulu sebelum berangkat shalat idul fitri.
Dari Anas bin Malik, ia
berkata, “Adalah Rasulullah saw. tidak keluar di hari fitri sebelum beliau
makan beberapa kurma. Murajja’ bin Raja’ berkata, ‘Abdullah berkata kepadaku,
‘”Ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya, “”Nabi memakannya dalam jumlah
ganjil.”” (HR. Bukhari)
Berpakaian Rapi dan Berhias
Umar ra. mengambil
sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar, lalu ia mendatangi Rasulullah
saw., kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah
dengannya untuk hari raya dan menyambut tamu.” Maka Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapatkan bagian (di hari
kiamat.)” (HR. Bukhari)
Imam Asy-Syaukani
rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, disyariatkan berhias pada hari raya dari
hadits ini didasari oleh persetujuan nabi tentang berhias di hari raya. Adapun
pengingkarannya hanya terbatas pada macam atau jenis pakaiannya, karena ia
terbuat dari sutera.”
Yang perlu dicatat di
sini ialah berpakaian rapih layaknya menyambut tamu, namun tidak harus berupa
pakaian baru. Berhias di sini pun tentu berhias sesuai dengan tuntunan syariat.
Mandi Pagi
Dalam sebuah atsar
disebutkan:
Seseorang bertanya
kepada Ali ra. tentang mandi, maka Ali berkata, “Mandilah setiap hari jika kamu
mau.” Seorang itu berkata, “Tidak. Mandi itu yang benar-benar mandi.” Ali
berkata, “Hari jumat, hari arafah, hari idul adha, dan hari idul fitri.” (HR.
Al Baihaqi)
Pulang dari Tempat Shalat Ied dengan Rute yang Berbeda
Dari Jabir, ia berkata,
“Nabi saw. apabila di hari ied beliau mengambil jalan yang berbeda.” (HR
Bukhari)
Hikmah dari sunnah ini
ialah agar dapat mengucapkan salam dan bersilaturahim dengan orang-orang di
sekitar dari rute yang berbeda tersebut, serta untuk syiar Islam.
Mengucapkan Ucapan Selamat Hari Raya
Kebanyakan masyarakat
kita mengucapkan “Minal ‘aidin wal faidzin” yang berarti “dari yang kembali dan
kemenangan” dan diikutin dengan “mohon maaf lahir dan batin”. Memang sudah
menjadi tradisi dan budaya kita untuk maaf-memaafkan di hari idul fitri. Namun
ucapan yang dianjurkan sebagaimana yang dilakukan para sahabat dan ulama
salafus shalih ialah
Taqabballalhu minna wa
minkum (semoga Allah menerima [amal ibadah] dari kami dan dari kalian). Wallahu
a’lam.
0 Response to "Makna Dan Pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri Di Indonesia"
Posting Komentar