Alquran memiliki keindahan bahasa yang berbeda dengan agama-agama lainnya. Bahkan salah satu mukjizat Alquran justru terletak pada kekuatan bahasanya atau linguistic power.
"Setiap agama sebetulnya punya nilai-nilai estetis dan bahasa puitiknya sendiri. Tetapi bahasa Al Quran punya keindahan puitiknya sendiri yang berbeda dengan bahasa keindahan agama lainnya," kata Artistic Director di Schauspielhaus Frankfurt, Navid Kermani, dalam diskusi bertopik "The Beautiful Face of God in Art" (Wajah Indah Tuhan dalam Karya Seni) yang digelar di aula Pikiran Rakyat, Jumat (3/5).
Diskusi yang merupakan kerjasama antara Penerbit Mizan, Goethe Institut Jakarta, dan HU Pikiran Rakyat Bandung menampilkan pembicara lain Pengamat Seni Islam, Ilham Khoiri dan dimoderatori Yasraf Amir Piliang.
Menurut Navid, keindahan bahasa Alquran itu mengandung nilai poetik yang sangat tinggi sekaligus mencerminkan misteri kesempurnaan dan keindahan Tuhan. Bahasa Alquran kaya dengan metafor, ritme, irama, dan suara yang ditimbulkannya ketika dibacakan bisa membuat orang terpukau.
Sementara itu, kata-kata yang terkandung di dalamnya punya makna yang memberi efek besar terhadap orang-orang yang beriman.
"Efek seperti apa, itulah misterinya," tambah doctor berkewarganegaraan ganda, Jerman dan Iran ini.
Betapa indah bahasa yang dipergunakan dalam Alquran, menurut Navid, menyebabkan adanya orang-orang yang mengapresiasinya tidak hanya terbatas pada wahyu. Tetapi justru keindahannya. Dikatakan Navid, dirinya pernah menyaksikan sejumlah supir taksi yang membaca Alquran hanya karena terkagum-kagum pada keindahan puitik dan lantunan suara yang tercipta ketika dibacakannya.
Dijelaskannya, sebetulnya bahasa Alquran berhubungan sangat dekat dengan bahasa Arab. Tetapi bahasa Alquran berbeda dengan bahasa Arab yang dipergunakan sehari-hari. Bahasa kaum Quraisy misalnya, tidak seindah bahasa Alquran.
"Waktu itu banyak penyair lokal yang bermaksud mengambil nilai bahasa dari Alquran. Mereka mencoba mensubversi Alquran dengan bahasa Alquran dengan tujuan merusaknya. Tetapi ternyata tujuan itu tidak pernah berhasil," katanya. Belakangan, tambahnya, Alquran bahkan menjadi sumber inspirasi estetik bagi bangsa-bangsa non-Muslim. Di beberapa negara Afrika misalnya, dijadikan inspirasi bagi seni musik.
Kaligrafi
Di Indonesia sendiri, kata Ilham Khoiri yang kini tengah menempuh Program Magister Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, seni rupa Islam masuk dalam bentuk kaligrafi sekitar abad 11 Masehi di Aceh. Selanjutnya berkembang ke seni patung, performing art (seni rupa pertunjukan), dan lainnya. "Tahun 1970-an merupakan tahun dimana seni lukis kaligrafi banyak dibuat dan dipamerkan. Mungkin sebagai angin segar setelah terjadi trauma ideologis menyusul pemberontakan PKI yang gagal," kata Ilham.
Belakangan memperoleh bentuk ekspresi yang lebih luas setelah dilangsungkannya Festival Istiqlal. Festival yang sukses besar dilihat dari kuantitas pengunjung ini turut menyemarakkan berkembangnya seni Islam. Semua itu rupanya selaras dengan hubungan yang semakin erat antara Islam dengan negara di era Presiden Soeharto. Keeratan itu tampak dari sikap positif pemerintah terhadap pembentukan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), pengangkatan menteri-menteri Islam, dan lainnya.
"Sejauh ini, kita tahu, maraknya seni rupa Islam tsb mengalami pasang surut selaras dengan pasang surutnya hubungan antara Islam dengan negara. Ketika hubungan Islam dengan negara merenggang, ekspresi seni rupa bernuansa Islam pun berkurang," jelas Ilham.
Dalam kesempatan itu dijelaskan Ilham, ekspresi seni kaligrafi yang muncul belakangan bukanlah perkembangan dari seni kaligrafi tradisional. Dalam seni kaligrafi tradisional misalnya tampak unsur-unsur komunal, anonim, dan ketaatan pada kaidah-kaidah baku kaligrafi, serta pengapresiasiannya yang berlangsung di level santri atau masyarakat bawah lainnya.
Sedangkan pada seni kaligrafi yang muncul belakangan, ekspresinya lebih bersifat pribadi, kosmopolit, dipublikasikan, serta diapresiasi masyarakat di perkotaan dan kelas menengah atas lainnya.